BRAKKK!!!
"Lin, gue mau buang semua barang-barang ini." Prilly baru saja membanting sebuah kardus berukuran sedang di depan sahabatnya, Lintang. Ia membanting tubuhnya ke sofa dan menghela nafas lelah.
Lintang membenarkan letak duduknya dan menarik kardus itu mendekat padanya. "Boneka ... Foto ... Cincin ... Buku ... Baju ... Sepatu ...." ia menyebutkan isinya satu persatu. "Yakin mau dibuang? Ini semua pemberian dari Oscar, loh!" tanyanya pada Prilly.
Gadis berusia 24 tahun itu mengangguk mantap. "Iya, gue tau itu pemberian dari Oscar makanya mau gue buang, Lin. Gue nggak mau terus mengingat dia, karena gue nggak mau setiap ruang gerak gue jadi terganggu dengan adanya barang-barang itu. Lo tau nggak, barang-barang ini seolah membuat gue berada di lapangan perang yang setiap kali gue melangkah, gue harus berhati-hati karena akan ada ranjau yang siap menghancurkan tubuh kita saat salah injak. Setiap gue melihat barang-barang ini, yang ada gue semakin sakit dan buntutnya berakhir mewek. Paham, kan?"
"Terus lo yakin kalo dengan buang barang-barang ini akan membawa lo keluar dari tanah ranjau itu? Gue rasa nggak,"
"Kenapa nggak, Lin?"
Lintang berdecak. "Pril, berapa lama sih lo pacaran sama Oscar? Sekitar lima atau hampir enam tahun lah, ya? Memangnya semua itu bisa dengan mudah dihapus hanya dengan lo buang barang-barang itu? Nggak, 'kan? Selama lo masih menyimpan dia di hati lo, membuang barang-barang ini pun percuma. Semuanya itu berpatokan pada hati dan perasaan lo, bukan dari barang-barang ini."
"...."
"Lo dengerin gue ya, Pril, menghapus semua kenangan yang pernah tercipta itu susah banget. Dia udah terlanjur ada di hati, menghuni tempat spesial, dan baru akan terusir pergi dengan waktu, yang entah kapan itu. Kita nggak pernah bisa tau."
"Gue tau kapan! Saat seseorang datang untuk menghuni tempat spesial itu lagi."
"Lo salah, Pril," tentang Lintang. "Setiap orang memiliki ruang khusus di hati kita. Mereka memiliki porsi masing-masing untuk memberikan kita pelajaran hidup dan juga tentang cinta. Oscar berada di suatu ruangan di hati lo, dan posisi dia nggak akan bisa digantikan oleh orang lain, dan akan begitu seterusnya. Yang terjadi nantinya adalah lo akan berhenti menyambangi ruangan yang diisi oleh Oscar, dan lo akan lebih sering pergi ke ruangan lain."
Prilly terdiam menatap kardus yang penuh dengan kenangan itu. "Omongan Lintang ada benarnya. Selama dia masih ada di hati, gimanapun usaha gue buat menghapus dia, nggak akan mungkin berhasil." Batinnya.
Lintang menyentuh pundak Prilly lembut. "Pertanyaan gue cuma satu kok, udah siap move on atau belum?" Ia tersenyum tipis.
TING TONG! Bel apartemen terdengar nyaring.
"Arez dateng. Gue pergi dulu, ya, Pril! Gue pulang agak malem nanti, jadi jangan nungguin gue. Gue bawa akses. Oke?" Lintang mengecup kening Prilly dan mengacak rambut sahabatnya itu. "Jangan galau, ya? You'll be fine. Take care, Honey." Pesannya, lantas berlalu dari hadapan Prilly.
Prilly duduk di atas sofa memeluk lutut. Matanya masih menatap kardus yang berada di depan matanya itu. "Udah siap move on atau belum?" Pertanyaan Lintang pun bersemayam pada benaknya.
***
Jam tangan Prilly menunjuk angka 12, waktunya istirahat. Kantornya yang berada dibilangan Sudirman, membuatnya harus mencari makan di luar kantor. Makanan kantin hanya membuatnya bosan. Lintang sedang pergi ke luar kantor untuk meeting bersama client, dan otomatis, ia harus pergi sendiri.
Prilly Fahisya Denada, seorang gadis mungil berusia 24 tahun yang berasal dari Bandung ini merupakan lulusan Public Relation di sebuah kampus ternama di Jakarta. Ia memilih pergi ke Jakarta untuk menimba ilmu dan mencari pekerjaan. Kedua orang tuanya menetap di Bandung, dan sesekali datang berkunjung ke Jakarta untuk menemui Prilly.
YOU ARE READING
For More Love
FanfictionPatah hati adalah akhir pahit dari sebuah percintaan. Hampir setiap orang merasakannya, begitu pula dengan Prilly. Ia harus menahan rasa sakitnya ketika diputuskan sebelah pihak oleh Oscar, kekasihnya. Ia gagal move on dari pria tak beradab itu. Nam...