"Iya, sama-sama. Aku cuma nggak suka sama anak laki-laki yang bisanya cuma gangguin cewek-cewek kayak kamu."
Prilly masih ingat kalimat yang diucapkan anak yang mengaku bernama Muhammad Ali Sirojudin itu. Dua puluh tahun yang lalu. Ya, dua puluh tahun lalu. Setelahnya Prilly melupakannya karna anak itu pun tak pernah muncul lagi. Walaupun beberapa hari cerita tentang anak lelaki yang gagah menolongnya dari anak-anak nakal itu sempat menjadi bahan obrolannya berulang- ulang di hadapan Papa dan Mama, juga kakak lelakinya, Ezra.
"Nama kamu indah, sesuai dengan wajah kamu yang cantik, Hisya. Kalau kamu dijahati lagi sama orang seperti mereka, kamu harus melawan. Kamu nggak boleh diam dan takut. Menangis adalah tanda kamu seorang yang lemah. Jangan tunjukkan ke orang kalau kamu itu lemah, karena semakin kamu lemah, orang-orang akan semakin senang jahatin kamu. Dan mereka akan terus menertawakan kamu."
Kalimat anak itu terngiang kembali di telinga Prilly. Kenapa bisa kalimat dewasa seperti itu bisa keluar dari mulut mungil seorang anak laki-laki yang masih kecil? Omongannya terlampau dewasa dari anak seusianya.
"Dorrr!" suara Lintang membuyarkan lamunan Prilly tentang Ali.
"Pasti lagi ngelamunin si Abang Ali yang ngajak kencan itu, 'kan? Lo utang cerita sama gue, loh!" Lintang langsung menodong Prilly yang berada di depan kaca meja kosmetik mereka tersusun.
"Nggak ada cerita apa-apa soal dia kecuali dua puluh tahun yang lalu gue ditolong sama dia karna diganggu anak-anak cowok yang nakal ...."
"Dua puluh tahun? Lama banget, lo juga baru empat tahun 'kan waktu itu?"
"Dia bawa gue naik sepeda karna lutut gue berdarah, udah gitu gue sama dia nggak pernah ketemu lagi, makanya gue bingung kenapa kayaknya aneh kalau dia begitu antusias ngajakin gue dinner,"
"Nggak ada yang kebetulan di dunia ini Pril, nggak ada salahnya lo terima ajakan dinner-nya. Lo single ini, dan anggap aja ini reuni buat lo berdua. Semua pertanyaan di otak lo itu pasti terjawab setelah kalian bertemu lagi nanti. Good luck, Honey. Udah, buruan sana dandan! Ntar keburu dia dateng jemput lo lagi!" Lintang mendorong tubuh Prilly antusias.
Prilly memandang Lintang dan tersenyum. "Sebentar ya, gue mau ke toilet dulu."
Lintang berdecak. "Pasti lo mau smoking dulu di sono?"
"You know me so well. Terus terang aja gue gugup, Lin. Rasanya gimana ya, aneh aja ...."
"Santai aja beauty, anggap aja lo ngilangin rasa sakit hati lo sama Oscar dan nyari hiburan buat lupain dia ...."
"Nggak segampang itu, girl ...."
"Kita lihat aja ntar, apa lo mau taruhan sama gue?"
"Males gue taruhan sama lo."
"Berarti lo nggak berani kalah."
"Jangan nantangin gue, gue cuma nggak mau perasaan gue dipertaruhkan."
Prillly tersenyum miring sambil menutup pintu toilet. Lintang hanya mengangkat bahu dan keluar dari kamar. Cukup lama Lintang mengenal Prilly. Gadis itu tak mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta dalamnya lebih dalam daripada lautan barangkali, sampai saat ditinggalkan Oscar dilihatnya Prilly sudah seperti kehilangan semangatnya. Beruntung Prilly juga tipe gadis yang pantang menyerah dengan keadaan, jadi meskipun hancur, pertahanan Prilly cukup kuat hingga dia memutuskan untuk memusnahkan barang barang peninggalan Oscar.
Ting tong.
Bunyi bel apartemen menggema ketika Lintang berada di dapur. Tadinya Lintang mengira Prilly akan segera keluar karna yang datang itu pastilah Ali yang akan menjemput Prilly. Tapi sampai beberapa kali bunyi bel itu menggema Prilly tak kunjung keluar dari kamar.

YOU ARE READING
For More Love
FanfictionPatah hati adalah akhir pahit dari sebuah percintaan. Hampir setiap orang merasakannya, begitu pula dengan Prilly. Ia harus menahan rasa sakitnya ketika diputuskan sebelah pihak oleh Oscar, kekasihnya. Ia gagal move on dari pria tak beradab itu. Nam...