9. Deadly Disease

2.5K 363 47
                                    

"Phebe, apakah kita saling kenal sebelumnya?"

Phebe terkejut bukan main saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Niall tersebut.

"Erh—"

Ting! Ting! Ting! Ting!

Handphone Niall berbunyi tanda panggilan masuk.

"Hello, Dani?"

"Rapat dadakan?"

"Ah—ya baiklah. Aku akan segera kesana."

"Thankyou."

Niall menampilkan raut wajah meminta maafnya karena ia harus pergi sekarang juga.

"Aku minta maaf, Phebe. Ada yang harus aku kerjakan di kantor. Kita bisa melanjutkannya lain waktu."

Disisi lain, Phebe terlihat gembira. Ia tidak habis pikir jika saja tidak ada panggilan untuk Niall tadi, ia pasti akan mati kutu di tempat.

"Baiklah. Hati-hati, Niall."

"Thankyou."

Dengan begitu Niall bangkit dari sofa dan melenggang pergi dari butik Phebe.

***

Hari sudah mulai gelap. Brigitta segera membereskan barang-barang diatas meja kerjanya, lalu menyambar tas miliknya dan segera pulang.

Sejujurnya, ia harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.

Rumah sakit.

Akhir-akhir ini, penyakitnya yang mudah lelah dan selalu merasakan pusing yang sangat hebat pada kepalanya semakin sering ia rasakan. Tak lupa juga pendarahan pada hidung dan mual yang selalu datang pada waktu yang tidak tepat.

Hal itu sangat mengganggunya.

Setelah menimbang-nimbang, Brigitta pun pergi ke rumah sakit dengan tujuannya untuk memeriksakan kesehatannya yang menurutnya menurun itu.

Sesampainya di rumah sakit, ia pun mendaftarkan diri dan menunggu agar namanya dipanggil oleh perawat.

"Brigitta Jansen." Panggil perawat itu.

Brigitta pun langsung bangkit dari kursi tunggu rumah sakit dan segera memasuki ruangan dokter.

"Selamat Malam, Ms. Jansen." Sapa dokter tersebut setelah melihat daftar nama pasiennya. Brigitta tersenyum manis sembari menjabat tangan dokter itu.

"Malam, dokter Olivia."

"Silahkan duduk." Brigitta pun duduk lalu melipat tangannya.

"Apa yang anda keluhkan, Ms. Jansen?"

"Begini dok. Akhir-akhir ini, saya mudah lelah, pusing, mual dan pendarahan pada hidung. Saya juga tidak tahu kenapa." Dokter itu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Brigitta.

"Baik. Kita periksa dahulu ya."

Perawat di dalam ruangan itu menyuruh Brigitta agar berbaring diatas ranjang yang tak jauh dari kursi yang didudukinya. Dokter tersebut bangkit dari kursinya dan memeriksa Brigitta dari mata sampai ujung kakinya.

Setelah selesai pemeriksaan, dokter dan Brigitta kembali pada tempat duduknya.

"Kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut ya?" Tanya dokter Olivia.

Brigitta pun mengikuti semua rangkaian pemeriksaan dari menggunakan alat X-Ray sampai diambil sampel darahnya.

"Hasilnya dapat diambil esok hari, Ms. Jansen." Ujar perawat sembari memberikan kapas ber-alkohol yang ditempelkan pada bekas suntikan di lipatan lengan Brigitta.

***

"Kau bayangkan saja, bagaimana jika tidak ada panggilan itu? Aku akan jawab apa?" Phebe mengaduk teh miliknya pelan.

Harry mengedikkan bahu. "Jujur." Celetuk lelaki itu.

"Hey, kau gila? Itu hanya akan memperkeruh suasana. Kau ingin membuatnya bingung setengah mati karena aku menjawab aku adalah kekasihnya?"

"Aku pun tidak paham dengan hubungan tersebut. Apa hubungan tersebut sudah berakhir atau belum."

"Dan satu yang harus aku tekankan berkali-kali padamu, dia sudah memiliki kekasih. Jangan membuatnya pusing 7 keliling karena hal ini."

Harry menggelengkan kepalanya tidak setuju. Ia menyuapkan cheesecake yang sudah ia potong dengan garpunya ke mulutnya.

"Kau jangan berdusta, Phebe. Kau mengatakan hal tersebut tetapi hatimu menangis, benar?"

Phebe melihat Harry dengan tatapan kesal, sedangkan Harry mencoba tertawa untuk mencairkan suasana.

"Kau menyebalkan." Phebe menopang dagunya dengan satu tangan lalu membuang muka dari Harry.

"Kau sudah tahu akan hal itu." Harry terkekeh lagi.

***

Brigitta menerima hasil pemeriksaannya dari dokter Olivia.

"Bagaimana, dok?" Tanya Brigitta penasaran.

Dokter Olivia menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengambil kembali hasil pemeriksaan Brigitta yang berada diatas meja,  tepat dibawah kedua tangan Brigitta.

Ia membuka amplop nan besar itu dan menampakkan foto hasil ronsen serta beberapa lembar kertas disana.

Dokter Olivia menunjukkannya kepada Brigitta.

"Ms. Jansen, pertama-tama aku minta maaf." Brigitta melebarkan matanya karena pernyataan dokter yang membuat kerja jantungnya lebih cepat daripada biasanya.

"A—apa, dok?"

"Setelah dilakukannya serangkaian pemeriksaan beserta keluhan yang anda keluhkan kepada kami, kami memvonis anda bahwa ada penyakit mematikan yang bersarang di tubuh anda, lebih tepatnya pada kepala anda."

"Ma—maksud dokter?"

"Anda terkena kanker otak stadium 3."

*****

a/n: ih byk silent readers:')

love, avissa!xx

Find You | Niall HoranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang