10. Stressed Out

2.3K 338 5
                                    

Double update ats prmintaan maaf avissa yg lama bgt ngupdatenya:):)

*****

Brigitta sedari tadi menangis diatas ranjangnya, bahkan ia belum tidur hingga pagi ini. Ia sangat shock dengan penyakit yang bersarang pada tubuhnya saat ini.

Ucapan dokter Olivia terus berulang-ulang di dalam kepalanya.

Ia benar-benar tidak menyangka jika ada penyakit mematikan itu yang sedang menggerogoti tubuhnya perlahan. Ia selalu menganggap setiap keluhan yang ia rasakan adalah hal yang biasa.

Ternyata ia salah besar.

"Astaga, Bri." Niall menyentuh hidung Brigitta, membersihkan cairan kental berwarna merah tersebut dengan ibu jarinya.

Brigitta ikut menyentuh hidungnya lalu menatap telapak tangannya yang sudah berlumuran cairan kental itu.

"Oh God."

"Kamu pasti kelelahan mengelilingi taman ini. Sebaiknya kita pulang." Niall mengajak Brigitta pulang dari taman tersebut.

*

Niall sudah berdiri di depan mobil miliknya menunggu kekasih yang ia cintai itu turun dari gedung kantornya. Ia sudah menunggu Brigitta sedari tadi untuk pulang bersama dari kantor yang sama di New York.

Niall tersenyum lebar melihat langkah Brigitta yang semakin lama semakin mendekat kepadanya. Brigitta membalas senyuman Niall dengan senyuman yang tidak kalah lebarnya dengan senyum milik Niall.

Tapi di tengah perjalanan menghampiri Niall, tiba-tiba Brigitta merasakan rasa yang sangat nyeri pada kepalanya.

Dengan sekejap, Brigitta kehilangan keseimbangan dan pandangannya sedikit mengabur. Ia mencoba untuk bertahan tetapi ia tidak bisa.

Brigitta bisa melihat samar-samar bahwa Niall berlari ke arahnya sembari memanggil namanya.

Sampai akhirnya, semua terlihat gelap bagi Brigitta.

Satu per satu bayangan itu muncul di benak Brigitta.

Ia menyesal karena selalu menganggap remeh apa yang ia rasakan selama ini.

"Sta—stadium 3..." Cegukkan aneh pun keluar dari bibir kecil Brigitta.

"Aku akan mati." Ucap Brigitta lirih.

Bulir-bulir hangat itu semakin deras meluncur di pipi Brigitta dengan bebasnya.

"AKU AKAN MATI!" Teriak Brigitta histeris bersamaan handphonenya berdering tanda panggilan masuk.

Ia menatap nanar layar handphonenya setelah melihat nama Niall-lah yang tertampil disana. Terlihat jelas bahwa Niall mengajak Brigitta untuk ber-facetime dengannya.

Sayangnya, Brigitta mengabaikannya.

***

"Where is she?"

Niall pun meletakkan handphonenya diatas meja kecil samping ranjangnya setelah menyerah menelfoni kekasihnya puluhan kali dengan hasil yang nihil.

Demi melupakan kekhawatirannya pada Brigitta, ia pun pergi membasuh tubuhnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor.

***

Niall kembali mencoba untuk menelfon gadisnya sebelum ia kembali ke kantornya. Ia baru saja makan siang di sebuah kafe kecil yang letaknya lumayan jauh dari kantornya.

Sekertarisnya menyarankan kafe tersebut karena semua masakan yang dihidangkan sangatlah enak.

"Ck, kemana dia?" Niall mulai kesal karena Brigitta sama sekali tidak mengangkat telfonnya, bahkan menelfon balik atau mengirimkan message pun tidak.

Niall mengetuk-ngetuk meja di hadapannya tidak sabaran.

"Hello." Sapaan lembut itu pun terdengar di telinga Niall.

"Oh My God, Bri. Kamu kemana saja?" Balas Niall khawatir.

"Maaf, aku membuat handphoneku menjadi silent semalam." Dusta Brigitta.

Padahal, Brigitta belum siap untuk berbicara pada siapapun sebelumnya.

"Kamu membuatku khawatir, sayang."

"Maafkan aku, Niall." Lirih Brigitta.

Ada dua makna yang terkandung dalam kata maaf Brigitta. Pertama, maaf karena ia membuat Niall khawatir. Kedua, maaf karena ia bisa saja meninggalkan Niall begitu saja.

Air mata Brigitta pun menetes dengan sendirinya.

"Tak masalah, my princess. Kamu sudah makan siang?"

"Iya, baru saja sampai kantor. Bagaimana denganmu?"

"Ya, ini juga baru selesai."

"Baiklah kalau begitu. Aku kembali bekerja ya?"

"Bye. I love you."

"I love you too." Brigitta menyeka air matanya sembari memaksakan seulas senyum untuk menghiasi wajahnya.

***

"Huh. Dimana Luke?"

Phebe mencoba menelfon Luke untuk kesekian kalinya, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban sama sekali.

Mobil Phebe mogok di pinggir jalan dan ia ingin meminta tolong Luke, orang kepercayaan Ashton yang bekerja di bengkel milik Ashton, untuk membantunya sekarang juga.

"Ya, Tuhan! Akan aku adukan pada Ashton bahwa Luke benar-benar tidak bisa membantu."

"Aku pun juga akan mengadukan pada Audrey bahwa kekasihnya memang sangat menyebalkan."

Dengan terpaksa, ia pun mencari kontak terakhir yang belum ia hubungi yaitu Louis, sahabatnya. Langsung saja ia menelfonnya tanpa pikir panjang.

"Handphonenya dimatikan." Phebe mengusap wajahnya kasar karena kehabisan akal.

Tak terduga, ada sebuah mobil yang berhenti persis di depan mobil Phebe yang mogok tersebut.

Seperkian detik, turunlah seorang lelaki dengan pakaian rapih ala kantoran dari mobil tersebut.

"Phebe, ada apa dengan mobilmu?"

"Eh—mogok, Niall."

Find You | Niall HoranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang