#Eps. 3 _ Rif

1.9K 151 0
                                    

Dia itu sangat merepotkan. Bayangkan, dia sudah mengikutiku semenjak aku kelas sebelas – dia kelas sepuluh. Dia selalu ribut dimanapun dan selalu merengek meminta sesuatu dariku.

Seperti siang ini, selalu kebiasaannya adalah ribut saat jam makan siang untuk mengajakku makan. Aku heran, hobinya itu makan tapi nomor bajunya tidak pernah bertambah sedikitpun. Apa jangan-jangan dia bulimia, atau bahkan yang lebih parah jangan-jangan dia sedot lemak. Hiii, mengerikan. Tidak mungkin dia seperti itu. Yang lebih mungkin adalah, makanannya di bakar lebih banyak untuk memenuhi energi yang terbuang karena dia mengikutiku setiap hari. Ya itu alasan yang lebih logis.

Siang ini dia merengek untuk di ajak ke restaurant pizza, dia beralasan sudah lama tidak makan pizza. Tanpa banyak bicara, aku membawanya ke restaurant pizza terdekat. Dia sibuk berceloteh ria tentang semua kejadian yang menimpanya pada hari itu. Aku hanya diam dan memainkan ponsel di tanganku tidak menyimak cerita hebohnya.

Pizza siap, aku langsung berdiri mengambil pizza fresh from the oven di sebelah meja kasir. Aku tidak mau duduk lebih lama mendengarkan celotehannya yang tak berujung. Aku kembali dengan satu nampan berisi dua loyang pizza ukuran besar, satu botol air mineral, dan satu botol cola.

Kami makan dengan tenang dan cepat. Selesai makan, kami bergegas kembali ke kantor karena ada klien yang sudah menunggu kami. Aku mampir ke kasir sebentar untuk membayar pesanan kami. "Rifqi?" sapa seseorang saat aku mengantri. Aku menoleh untuk melihat siapa yang menyapaku.

"loh? Nina?" ternyata itu Nina, dia teman SMP-ku. Kita pernah sekelas sekali, waktu kelas Sembilan. Setelah lulus, kami tidak pernah kontekan lagi. Setahuku, saat SMA dia pindah ke Yogya karena ayahnya yang PNS di mutasi kesana.

"hai Rif, lama ngga ketemu. Kamu apa kabar?" tanyanya. "baik" jawabku singkat. Akhirnya kami duduk dulu sejenak di bangku dekat kasir sambil menunggu pesanannya jadi. "kamu sekarang kerja di mana?" tanyanya lagi. "aku kerja di d'Smore, kamu?" ganti aku yang bertanya. "aku sekarang kerja di perusahaan ayahku" jawabnya. "bukannya kamu pindah ke Yogya ya?" tanyaku lagi. "iya, tapi ayah nyuruh aku ngurusin cabangnya yang di sini" tak lama kemudian pesanannya jadi. Kami berdiri untuk mengambil pesanan kami.

Kami keluar restaurant bersama. "kamu sama siapa? Bawa kendaraan? Apa mau bareng?" tanyaku berentet. "hahaha, aku sama suamiku, dia lagi nunggu di mobil. Yaudah deh aku duluan ya" pamitnya. Aku hanya tersenyum sopan kepadanya dan dia berlalu pergi.

"cewe yang tadi itu siapa Rif?" baru saja masuk ke mobil, aku sudah di berondong oleh pertanyaannya. "pakai sabuk pengamanmu" alihku karena aku malas menjawab pertanyaan tidak pentingnya. "Rifqi, cewe yang tadi itu siapa?" tanyanya lagi kali ini dengan nada yang lebih memaksa. "udah deh, mending kamu cepetan pake sabuk pengaman. Kita di tunggu klien ini" ujarku malah memerintahnya.

Dia tidak langsung memakai sabuk pengamannya malah memandang pemandangan di luar mobil. Akhirnya aku berinisiatif untuk memakaikan sabuk pengamannya. Inisiatifku itu malah berbuah aneh untuk jantungku. Entah, jantungku malah berdetak lebih cepat dari biasanya saat deru nafasnya mengenai wajahku. Aku mempercepat pekerjaanku itu karena aku sudah tidak tahan dengan degup jantungku yang berlebihan itu.

Setelah aku selesai memasangkan sabuk pengamannya, aku langsung melajukan mobilku ke kantor. Perjalanan dari restaurant ke kantor hari itu sangat aneh. Aneh rasanya karena tidak ada orang yang ribut berceloteh saat di mobil. Suhu di dalam mobil juga terasa lebih panas, padahal aku yakin Huna sudah menyetel suhu dingin maksimum di dalam mobil itu.

"turun" perintahku saat kami sudah sampai di parkiran kantor. Dia hanya bergeming di tempatnya, tidak mengindahkan kata-kataku. "turun apa aku tinggal" ancamku, kali ini berhasil. Dia turun dengan hentakan di kakinya dan sedikit membanting pintu mobilku. Untung aku menggunakan asuransi.

Dia berjalan lebih cepat tapi aku masih bisa mengimbangi langkahnya. Sesampainya di depan ruangannya, dia langsung masuk kedalam ruangannya dan sedikit membanting pintu ruang kerjanya. Aku hanya menoleh sekilas dan melanjutkan berjalan kearah ruanganku dan memilih tidak mempedulikannya. Mungkin dia sedang PMS.~

PaenitereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang