P R O L O G

25.1K 531 24
                                    

DALAM keremangan cahaya lampu temaran ia berkabung sepi. Membelah nostalgia penuh cinta, tangis dan tawa. Lembaran kisah yang tak tergantikan oleh surga dunia-surganya 'tlah runtuh-menyerubung lembah kelam tak berdasar. Ia ingin terjun, menerjang lembah hitam itu dan ditelan tanpa berbalik. Ia ingin pergi, meninggalkan luka hati tak berperi.

Wajahnya tampak samar di bawah langit sore yang membingkai horizon cakrawala. Seprai My Love bermotif mawar dipadu semburat baby pink smooth senada sarung bantal tampak kusut oleh sunyinya musim gugur yang akan segera berlalu. Musim baru yang putih mengundang kebekuan hati mencipta kristal tak tercairkan. Ujung-ujung kristal itu menggantung runcing di langit-langit hati bagai stalactit. Sekali jatuh, ujung es itu akan merajam ... menguar perih semakin dalam-sesungguhnya itu telah terjadi-saat ini tepatnya. Meski musim berganti panas, hati yang beku takkan bisa leleh.

Beatiful girl wherever you are ....

Pria bersyal rajut dengan warna kecoklatan itu mengetukkan telunjuknya di tangan kursi goyang yang diayunkannya. Ketukan itu mengikuti irama denting piano lagu kesukaan sang bidadari. Dalam cahaya musim gugur yang kelabu ia memangku rindu. Rindu pada wanitanya yang sempurna. Wanita dengan manik coklat bening, gigi putih mengkilap, bibir tipis ranum khas cherry blossom, pipi putih merona; godaan rambut pirang ikalnya yang menjuntai. Wanita sempurna dengan perangai selembut sutra. Permaisuri jiwa dan raganya-pujaannya.

Pria itu menggenggam cinta yang ia torehkan di setiap molekul tubuhnya. Menata apik rasa itu seperti aliran darahnya. Dari molekul, sel, serta organ terpatri untuk sang pemilik hati. Kepergian Renata takkan menyurutkan dalamnya lautan cintanya. Ia berterima kasih pada wanita pujaannya itu, telah menitipkan malaikat kecil untuk menjaganya. Ia tetap akan bertahan dalam kepedihan, demi malaikat suci itu. Renata bertaruh nyawa untuk menghadirkan hadiah luar biasa itu. Meski ia menjelma menjadi bidadari sungguhan di hari yang sama. Meregangkan sepasang sayap agungnya 'tuk menghadap pencipta.

Twinkle twinkle little star,

How I wonder that you are ...

Pria dua puluh satu tahun itu memutar kotak musik putri kecilnya. Kotak musik keemasan dengan miniatur peri kecil di bagian tengah. Peri mungil itu akan terus berputar selama yang pria itu inginkan, menyanyikan lagu manis untuk mengantar sang putri ke negeri seribu mimpi.

Tapi usahanya tidak juga meredam raungan kesakitan yang menggigit hati gadis kecil itu. Tirai katun berombak mengikuti hembusan angin utara, bergemuruh bersama kesakitan yang memenjara di ruangan itu. Tergores kepedihan lara pada serpihan setiap wujud yang menghuni. Larik mentari sore jatuh bersama helaian daun lima jari yang menguning. Anna-putrinya, peninggalan bidadarinya-sudah menangis seharian itu. Jika diingat-ingat, mungkin sudah sejak enam bulan lalu. Hari-hari anak itu selalu berteman tangis. Kevin-sang ayah-merana menyaksikan kisah pilu itu. Sampai kapan ia bisa bertahan melihat sang putri menderita?

Renata sialan!

Kenapa wanita itu mewariskan takdir yang lebih kejam untuk putrinya? Inikah buah perjuangannya? Memberikan hadiah kepada Kevin hanya untuk direnggut kembali? Egois! Ia tidak mau sendirian.

Belati tajam menyayat jantungnya setiap kali melihat Anna menjalani kemoterapi. Menelan pil-pil sialan sebesar jari kelingkingnya. Demi Tuhan, Anna baru tujuh belas bulan. Kaki-kaki mungilnya bahkan belum berlarian di taman belakang, jari-jari kecilnya belum pernah merusak meja kerja ayahnya. Dia bayi malang yang belum mengerti apa-apa. Bayi kecil dengan kanker pembunuh di tubuhnya.

Sore yang sempurna hari ini, akhirnya malaikat kecil itu telah diam. Kevin menghela napas lega. Lengannya menyambar botol susu dan buku dongeng yang bertengger di atas kasur. Napasnya tercekat saat memasukkan ujung dot ke mulut putrinya. Dengan jelas ia masih mengingat perkataan orang-orang berseragam putih itu, 'sabar' hanya itu yang mereka ucapkan sambil menepuk punggungnya. 'Bertahan sejauh ini sudah keajaiban', hancurnya seorang ayah menerima kata-kata itu. Hidup anaknya divonis hanya tinggal hitungan bulan.

Keajaiban putrinya bisa bertahan sejauh ini. Lantas, adakah keajaiban yang lain untuknya? Apa dosanya di masa lalu? Kenapa takdir mempermainkannya dengan begitu keji? Cintanya direnggut paksa tanpa ampun; tak bersisa.

Langit kian meredup, mengundang lentera malam 'tuk berpijak. Dongeng dengan huruf timbul di sampulnya merangkai huruf 'RAPUNZEL' yang dibacakan Kevin sudah pada halaman terakhir. Dot susu sudah kandas. Si kuning Winnie the Poeh masih bertengger di sela-sela lengan anak itu.

Timang-timang putriku sayang ...

Bersenandung pelan, Kevin mengecupi tiap inci kulit putrinya. Seluruh tubuhnya bergetar merasakan detak jantung yang telah berhenti. 'Euthanasia yang ampuh', hatinya menjerit frustasi memaki dirinya sendiri. Terlalu keji. Kehilangan dua malaikat tercintanya, ia tinggal apa? Bongkahan mayat hidup tak berjiwa.

Kevin menyenandungkan lagu manis itu lagi. Tersenyum seolah ia telah berhasil meninabobokan tubuh kecil itu. Yeah, dia memang sudah berhasil. Gadis itu sudah tak bernyawa lagi sejak beberapa menit yang lalu. Tak kentara, jemarinya terus mengusap dan menepuk-nepuk punggung berbalut sweater bulu itu. Menimang tubuh kaku itu penuh sayang, berkeliling mengitari kamar tidur itu. Hatinya lalu hanyut dalam figura Renata yang tersenyum seperti mengejeknya. Bingkai besar itu menggantung dengan anggunnya di dinding bernuansa putih.

"Enyahlah!" jerit Kevin melayangkan botol susu di tangannya, menghantam figura segi empat berukuran satu meter itu, "Kau puas?" berikutnya beberapa vas bertubi-tubi menyapa kaca itu hingga hancur. Berantakan. Gambaran yang sempurna untuk pria yang tengah berduka saat itu.

Tertawa...

Menangis...

Bersenandung...

Kevin membelai sisa-sisa rambut ikal pirang Anna-hampir botak-yang lembab oleh keringat, mungkin juga oleh air mata. Kemudian mencondongkan tubuh, menunduk mengecup kening putrinya untuk terakhir kali. Sepasang kakinya lemas, tak mampu menanggung duka yang menimpa. Perut dan lututnya merosot ke lantai, bersimpuh menahan tangis. Dipandanginya lekat-lekat kedamaian tidur putrinya, lalu tersenyum lagi. Tersenyum getir.

"Selamat tidur, malaikat ayah. Temukan kedamaianmu bersama Renata-ibumu. Takkan ada sakit lagi, weep no more, my little angel," bisiknya dalam gema raungan sang penakhluk kegelapan.

^^

Hai, ini adalah tulisan lama yang terbengkalai. Mungkin alasanku terlalu banyak, entahlah itu sibuk kuliah atau mood nulis yang nggak bisa konsisten. Ok, aku memang terlalu labil untuk bergelut di dunia literasi. Maafkan ...

Bisa dibilang, ini berawal dari sebuah cerpen yang pernah ku-post di sebuah grup kepenulisan yang membawaku jatuh cinta pada dunia tulis menulis sejauh ini. Nah, dari situ aku merasa tertarik melanjutkannya karena aku benar-benar jatuh cinta pada tulisanku satu ini. Dan .. jadilah cerpen itu aku buat sebagai permulaan untuk project ini.

Sungguh, ini adalah prolog paling aku sukai dan benar-benar membuatku jatuh cinta pada karakter Kevin, meskipun setelah ini aku akan kehilangan sosoknya yang begitu penuh cinta. Apa boleh buat, kehilangan akan cinta terkadang membuat kita trauma akan cinta dan memutuskan untuk menghindari perasaan satu itu. Cinta itu terlalu menyakitkan bagi Kevin.

Ok, demikian pembuka dari aku. Semoga siapapun yang mampir di sini akan menikmati tulisanku ini dan jika bersedia, aku sangat-sangat mengharapkan dukungan kalian semua.

Thank you and sending big love and kiss for all my lovely readers ...

Shadow (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang