"Trissta?" Rox terus menatap wajah anaknya yang sedaritadi tidak memiliki ekspresi apapun dan tetap memainkan makanannya.
Trissta hanya dapat menopang dagunya dengan malas dan mencicipi makanannya sedikit demi sedikit, seperti jijik dengan makanan yang dulunya adalah makanan kesukaannya.
"Kau bosan dengan makanan ini? Apa mau mama masakkan makanan lain?"
Rox dan Christopher terus menunggu jawaban dari anaknya itu, tetapi tidak satupun kata terlontar dari bibirnya. Matanya hanya dapat menatap lurus kearah kedua orangtuanya, membuat Rox dan Christopher merasa tidak nyaman.
"Kamu capek? Mau istirahat aja? Nanti makanannya mama taruh di kulkas deh, kalau kamu mau makan nanti mama panasin lagi?"
Trissta melambaikan tangannya perlahan, menghentikan mamanya untuk mengambil piring yang ada dihadapannya. Rox mulai merasa makin tidak nyaman dan menaruh kembali piring Trissta. Wajahnya menunjukkan sangat jelas kekhawatiran akan anak kesayangannya itu.
"Apa kamu memiliki masalah? Ada yang mau kamu ceritakan pada kami selama ini?"
"Iya, papamu benar. Jika kamu ingin bercerita pada mama dan papa, kita pasti akan mendengarmu. Semua maid, supir, satpam dan koki disini tidak akan mendengar apapun.."
"Papa dan mama akan setia mendengarmu, Trissta."
Christopher mengusap kepala anaknya perlahan, membuat tubuh Trissta bergetar perlahan. Seperti bergetar ketakutan. Dengan berat hati, Christopher mulai menjauhkan tangannya dan kepala anaknya.
Trissta perlahan mengambil makanan dan gelas susunya dan membawa keduanya ke dalam kamar, meninggalkan kedua orangtuanya yang bertatap muka dengan bingung di ruang tengah.
"Ada apa dengan anak kita, Rox.."
"Aku juga tidak mengerti.."
------||-------
Senin, 11 Mei 1953
Rox dan Christopher terus melangkah ke dalam rumah sakit sembari menggenggam tangan anak kesayangannya yang sudah setuju untuk dibawa ke psikolog yang mungkin dapat membantunya untuk menceritakan apa yang terjadi padanya.
Ia masih tidak mau bicara, bahkan sepatah katapun. Ia hanya menjawab lewat gesture tangannya saja atau hanya mengangguk atau menggelengkan kepalanya.
"Trissta Everett!" Seorang suster dari ambang pintu menoleh kesana kemari untuk mencari Trissta yang dengan sigap berdiri dari tempat duduknya yang baru saja ia duduki. Ia kemudian menatap kedua orangtuanya yang mulai tersenyum manis padanya.
"Tenang saja Trissta, mama dan papa akan tetap disini untuk menunggu kamu.. Masuklah." Rox mengusap kepala anaknya kemudian terus menatapnya memasuki ruangan perlahan lahan, seperti yang malas untuk bertemu.
"Dek Trissta? Silahkan duduk.. Wah manis sekali ya" Ujar sang psikolog dari tempat duduknya dan melambai ke arah Trissta yang terlihat sangat tidak tertarik dengan apa yang sang psikolog ucapkan.
Trissta perlahan duduk di kursinya dan menatap lurus ke arah mata sang psikolog. Ia masih tersenyum dan memaksakan dirinya untuk menatap wajah Trissta kembali.
"Mamamu bilang kamu menjadi pendiam ya? Mengapa? Ada yang mau kamu ceritakan? Tenang saja, Saya bisa menjaganya agar tetap menjadi rahasia antara kita."
Trissta mulai melihat ruangan sekelilingnya. Mulai dari meja, tempat tidur, boneka, puzzle, dispenser, buku buku cerita dan beberapa bungkus permen di dalam toples kaca.
"Ah, kamu mau permen?" Sang psikolog mulai mengambil 3 bungkus permen dan menyerahkannya pada Trissta yang awalnya hanya dian tetapi akhirnya iapun mengambilnya, membuat senyuman sang psikolog makin lebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRISSTA
TerrorTrissta Everett, seorang anak perempuan dari orangtua yang sangat mapan pada waktunya itu adalah anak yang sangat periang hingga umurnya menginjak 6. Entah apa yang sedang dia alami hingga ia berubah dan membuat orangtuanya khawatir. Ternyata, ia se...