Minggu, 15 November 1953, 12:30
"Trissta, hari ini Ms. Gabbie akan menjadi temanmu.. Kamu bisa ceritakan apasaja padanya.. Dia akan datang ke rumah mungkin 2 hari sekali.. Be nice okay?"
Rox terus menggeggam erat tangan anaknya dan membawaya ke ruang tamu. Di ruangan tersebut, dapat dilihat Gabbie yang dengan sigap tersenyum pada Trissta.
"Selamat siang, Trissta.. Ingat aku?" Gabbie melambai padanya dan yang dia dapatkan hanya suara angin dari AC ruangan tersebut. Rox hanya dapat tersenyum dan menuntun anaknya untuk duduk di samping Gabbie. Trissta terus menatap ke arah Gabbie yang terlihat sedikit gugup. Mungkin ia tidak nyaman bertemu lagi dengan Trissta.
"Trissta, kamu disini dulu ya sama Ms. Gabbie? Mama akan menunggumu di ruang mainmu nanti.. I love you.." Rox mulai mencium kening Trissta dan keluar dari ruangan tamu, meninggalkan Trissta dan Gabbie berdua disana.
Keheningan mulai tercipta di ruangan itu selama beberapa menit hingga akhirnya Gabbie membuka mulutnya untuk berbicara.
"So.. Trissta.. Bagaimana keadaanmu? Mengingat.. Kejadian.. Ah sudahlah.. Jadi bagaimana keadaanmu?" Gabbie terus memaksakan senyuman di wajahnya, tetapi yang ia dapatkan tetap saja tatapan dingin dari Trissta. Walau bulu kuduknya nyaris berdiri, Gabbie terus tersenyum dan mulai menggenggam tangan Trissta.
"Hey, ceritakan saja. Aku tidak akan bilang kepada orangtuamu. Janji deh?"
"Janji... Janji itu cuma omong kosong akhir akhir ini."
"Maksudmu..?"
"Kamu tidak akan menepati janjimu. Papa dan Mama pasti akan mengetahui apa yang aku bicarakan padamu."
Hanya dengan sesingkat itu, Gabbie mulai terdiam dan mengusap halus kepala Trissta, menahan tangannya yang sudah gemetar ketakutan.
Sudah nyaris 10 menit mereka terduduk diam di ruangan tersebut hingga akhirny Trissta kembali angkat suara.
"Apa kau benar - benar berjanji kamu tidak akan memberitau orangtuaku?"
Gabbie yang terkejut mendengar perkataan Trissta mulai menaikkan kembali wajahnya dan mengangguk bahagia.
"Tentu saja! Akan aku jaga rahasiamu. Jadi, apa yang mau kau sampaikan?"
"Ayahku. Ayahku yang menyuruhku.."
"Ayah..? Mr. Christopher?"
Setelah perkataan itu, Trissta kembali diam dan mengambil kertas juga pulpen dari meja kecil dihadapannya. Tangan mungilnya mulai menggambari seseorang dengan tuxedo hitam yang sedang duduk di kursi yang tepatnya seperti kursi yang ada di kamarnya.
Tanpa berpikir 2 kali, Trissta menunjukkan gambarannya kepada Gabbie dan memberikannya tatapan yang lebih dingin.
"Jangan beritau siapapun. Kau berjanji, bukan? Kau teman.. Teman tidak boleh mengkhianati satu sama lain, kan?"
Dari suara Trissta, terdengar nada ancaman yang lembut dan rasanya seperti mengkontrol Gabbie agar mematuhi omongannya. Dengan wajah yang sudah pucat, Gabbie menyimpan gambar tersebut di tasnya.
----------------------||----------------------
Minggu, 15 November 1953, 14:00"Jadi, apa yang dia katakan?"
"Ia hanya bilang ia sedikit ketakutan dan tidak mau berbicara untuk beberapa saat. Mungkin dia sedikit trauma.."
"Ah seperti itu ya, terimakasih.."
"Aku tau ini sulit, tetapi kalian harus bersabar ya.. Mental anak anak sangat berbeda dengan orang dewasa.."
"Kami tau itu.. Terimakasih ya karena mau bekerja sama dengan kami."
"Sama sama" Gabbie menunjukkan senyumannya kepada Rox dan izin untuk meninggalkan rumahnya.
Sebenarnya Rox dapat melihat ekspresi ketakutan di muka Gabbie dan kekhawatirannya akan Trissta makin bertambah. Bukan karena ia mencurigai anaknya, tetapi karena ia takut anaknya akan trauma seumur hidupnya.
Bersamaan dengan Rox yang masih berpikir, Trissta keluar dari ruang tamu dan menghadap ibundanya itu. Ia hanya menatap Rox beberapa saat sampai akhirnya kembali berjalan ke arah kamarnya. Hal itu sangan mengkhawatirkan untuk Rox, tetapi tidak untuk Christopher yang menatap anaknya dari kejauhan.
Christopher merasa ada sesuatu yang berbeda dari Trissta, dan itu membuatnya sangat resah.
--------------------||------------------
"Aku tidak boleh terlalu cepat..? Kenapa...? Oh... Aku mengerti.. Maafkan aku.. Aku tidak ingin mengecewakanmu.."
Suara mungil Trissta terdengar dari dalam kamarnya. Ia tidak mengetahui bahwa sekarang ini ia tidak sendirian. Ternyata Christopher terus mendengarkan pembicaraan Trissta. Ia takut anaknya ini mulai gila dan mulai berbicara kepada dirinya sendiri.
Ia hanya dapat mendengar suara Trissta. Tetapi yang anehnya lagi, saat ia memegang pintu kamar Trissta, pintu itu terasa panas walau suhu malam ini terasa sangat dingin, bahkan berjalan di koridor yang jendelanya semua tertutup masih dapat membuat orang orang menggigil.
"Ah pintunya panas.." Christopher menjauhi pintu Trissta untuk beberapa saat hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Trissta.
Tak mengejutkan, pintu tersebut terkunci. Walaupun panas, Christopher terus mencoba membuka pintu itu, bahkan memukulinya juga meneriaki nama anaknya, ketakutan sesuatu akan terjadi padanya.
"Trissta?! Kamu ada di dalam?! Ada apa didalam?! Buka pintunya!"
Anehnya, setelah beberapa saat, suhu pintu berubah menjadi dingin dan pintu sudah tidak terkunci lagi. Christopher bahkan tidak menyadarinya hingga beberapa saat kemudian.
Dengan panik akhirnya Christopher memasuki kamar Trissta dan mendapati anaknya tertidur pulas di kasurnya. Christopher mulai kebingungan dan memeriksa seluruh penjuru kamar Trissta. Tidak menemukan apapun, Christopher hanya dapat menyerah untuk kali ini dan mencium kening anaknya itu.
Christopher akhirnya kembali ke dalam kamarnya setelah mengambil segelas air dan kembali tidur. Tanpa ia ketahui, Trissta ternyata belum tidur dan masih berbincang dengan entah siapa.
"Aku percaya padamu, dan aku bangga padamu untuk kali ini. Good girl. Teruslah mengejutkanku."
![](https://img.wattpad.com/cover/62079714-288-k644856.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TRISSTA
HororTrissta Everett, seorang anak perempuan dari orangtua yang sangat mapan pada waktunya itu adalah anak yang sangat periang hingga umurnya menginjak 6. Entah apa yang sedang dia alami hingga ia berubah dan membuat orangtuanya khawatir. Ternyata, ia se...