Kamis, 24 Desember 1953
"Selamat pagi sayang! Sekarang Christmas Eve lho.. Bangun yuk? Bantu mama masak untuk besok mau kan? Biasanya kamu suka banget masak?"Rox terus mengguncangkan tubuh anaknya yang sedang tertidur pulas. Rox tertawa perlahan dan duduk disamping Trissta.
"Mama bakal buat makanan kesukaanmu lho untuk besok.. Mozzarella di segala makanan deh.. Anak keju mama"
Rox mencium kening anaknya dan keluar dari kamar itu. Trissta yang sedaritadi berpura-pura tidur, kembali duduk di kasurnya itu dan mengambil sketch book pemberian Christopher. Ia lagi-lagi mulai menggambari sesosok makhluk bertanduk dengan badan yang tegap. Trissta mulai tersenyum ketika melihat gambarannya itu dan kemudian ia menyimpan sketch book tersebut di bawah kasurnya.
Ia berjalan dengan wajah tidak ber ekspresi walau beberapa orang yang melewatinya terus menyapanya selamat pagi. Bahkan ayahnya sendiri tidak ia sahuti ketika memanggilnya.
"Ah.. Apa yang terjadi pada anakku?"
Christopher menurunkan koran yang ia baca dan menatap Rox yang hanya mengangkat bahunya dan berdiri dari sisi Christopher lalu menghampiri anaknya. Rox memaksakan dirinya sendiri untuk tersenyum walau iapun sebenarnya khawatir.
"Trissta, jadi mau bantu mama masak?"
Rox dan Trissta hanya bertatap wajah hingga entah seberapa lamanya hingga Trissta akhirnya menganggukkan kepalanya. Dengan sedikit perasaan senang, Rox langsung menggapai tangan anaknya itu dan membawanya ke dapur.
Ditaruhnya berbagai macam bahan untuk membuat pancake, seperti tepung, telur, gula dan syrup. Trissta hanya menatap bahan-bahan tersebut dan tidak bergerak sama sekali. Padahal dulu Trissta sangat menggemari memasak bersama ibunya.
Melihat itu, Rox merasa sedih kembali dan membuatkan adonannya sendirian. Trissta hanya menatapnya saja dari jauh dan malah mengoprek kulkas. Ia akhirnya mengeluarkan strawberry dari dalam kulkas dan memakannya bulat-bulat.
"Ah...? Sejak kapan kamu suka strawberry sebelum mama buat menjadi cheesecake? Akhirnya kamu mau memakan buah juga ya.."
Rox tertawa pelan melihat anaknya yang ia kira wajahnya akan berubah saking asamnya strawberry itu. Diluar dugaannya, wajah Trissta tetap tenang hingga akhirnya ia meneguk 2 gelas air putih. Walaupun heran, Rox memaksakan dirinya untuk tidak memperdebatkan keadaan Trissta hanya karena sebuah strawberry.
Rox mulai mengeluarkan beberapa alat untuk membuat pancake. Ia terus menyuruh anaknya untuk membawakan beberapa bahan bahan yang sudah disiapkan ke arahnya. Trissta membawakannya satu persatu dengan muka malas. Rox mulai merasakan kesepian karena diamnya Trissta. Ia terus berusaha mengajak anaknya untuk mengobrol, tetapi berkali kali ia diabaikan. Trissta lebih memilih menatap dinding daripada melihat ibunya memasak.
"Apa kau mau membantuku mengaduk adonan ini? Kamu dulu suka sekali menggunakan mixer, iya kan?"
Rox menaruh mixer yang ada di tangannya dan menaikkan Trissta ke atas kursi didepan meja tempat menaruh adonan pancake. Trissta mengambil mixer yang ada di sampingnya dan mencelupkannya ke dalam adonan. Dinyalakannya mixer itu dan perlahan ia memutarnya. Trissta masih tidak menunjukkan rasa senang atau tertarik atas apa yang sedang dilakukannya.
Khawatir, Rox akhirnya memanggil suaminya untuk datang ke dapur. Christopher akhirnya datang dengan koran masih ada di tangan kanannya dan matanya yang tajam langsung tertuju ke arah Trissta.
"Dia membantumu memasak? Good girl.."
"Iya.. Tapi kelihatannya dia tidak tertarik lagi dengan memasak bersamaku.. entah kenapa.. Padahal dulu dia paling semangat jika aku ajak memasak.. Kamu ingat kan pertama kita bertiga memasak pancake pertama kita?"
"Yeah. Aku hampir membakar celemek yang aku kenakan. Untung saja Trissta menumpahkan air ke celemekku. Lucu sekali.."
"Mari tidak kita pikirkan fakta bahwa kamu hampir terbakar hari itu, okay?"
Rox menahan tawanya dan melihat Trissta yang menoleh kearahnya dan Christopher dengan tangan yang masih bergerak memegangi mixer. Diteguknya air ludahnya sendiri karena merasakan sedikit rasa takut di dalam hatinya. Wajah Trissta terlihat kosong, tidak menunjukkan rasa apapun. Rox khawatir kalau anaknya berpikiran bahwa dulu ayahnya nyaris kehilangan nyawanya.
"Trissta? Kamu mendengar semuanya? Kamu ingat kan pancake pertama kita?"
"Ya..."
"Ah akhirnya kamu menjawab perkataan ibumu ini. Kenapa daritadi kamu tidak mau berbicara denganku? Kamu marah?"
Trissta menggelengkan kepalanya dengan lambat dan kembali menatap adonan di hadapannya. Rox dan Christopher terpaku melihat anaknya yang terbilang aneh. Mereka malah berpikir bahwa kejiwaan Trissta sudah mulai terganggu.
08:30
"Terimakasih, Trissta! Anak papa memang hebat ya dalam memasak! Pasti kamu akan menjadi pemasak handal seperti mamamu!"Christopher menatap pancake yang ada di hadapannya dengan haru. Trissta yang duduk disampingnya tidak memberikan Christopher perhatian sama sekali. Ia terus melahap pancakenya sendiri dengan tenang. Rox hanya dapat menggeggam tangan suaminya itu dan tersenyum, mencoba membuat suaminya tidak merasa sedih atau terabaikan.
"Well, Christopher... Kapan kamu akan kembali kerja?"
"Jika semua ini sudah selesai, Rox. Kita tidak bisa membiarkan siapapun tersangkanya berjalan dengan bebas. Dan tidak usah kamu pikirkan pekerjaanku. Besok itu hari natal!"
"Semua asisten rumah tangga kita sudah membeli bahan bahan untuk memasak pada natal.. Mereka juga sudah memesan pohon natal yang katanya siang ini akan datang"
"Aku juga ingin membawamu untuk pergi"
"Kemana?"
"Kamu kira aku akan membiarkan asisten rumah tangga kita membelikan kado untuk Trissta? Kita yang akan membelikannya."
"Lalu bagaimana dengan Trissta?"
"Dia bisa tinggal disini dengan butler kita.. Kita punya 2, Rox.. Kalau kamu masih khawatir, aku bisa suruh bodyguardku untuk datang kesini menjaga Trissta.."
"That'll be great. Honey, kamu gapapa kan kita tinggal dulu? Kita mau pergi ke Santa dan bilang padanya kalau kamu sudah menjadi anak baik tahun ini.. Besok pasti kamu akan mendapatkan kado dari Santa.."
Rox tersenyum ke arah anaknya yang mengangguk ringan. Piringnya sudah kosong, begitupun gelas susunya. Trissta melompat kecil dari kursinya dan berjalan keluar dari ruang makan. Rox menghela nafasnya dengan sedih dan kembali menghabiskan pancake buatannya juga Trissta. Matanya terasa panas mengetahui bahwa anaknya sudah mengabaikannya seharian penuh. Dan ini baru saja pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRISSTA
HorrorTrissta Everett, seorang anak perempuan dari orangtua yang sangat mapan pada waktunya itu adalah anak yang sangat periang hingga umurnya menginjak 6. Entah apa yang sedang dia alami hingga ia berubah dan membuat orangtuanya khawatir. Ternyata, ia se...