Sudah tau semuanya

1.5K 161 14
                                    

Senja begitu indah diufuk barat. Angin merayu manja, berhembus lembut menari-narikan anak rambutnya hingga mengenai wajah putihnya yang nampak pucat. Daun-daun kering beterbangan dibawa angin, ranting-ranting pun saling bergesek-gesekan menimbulkan suara decitan yang menenangkan hati.
Yuki menatap nanar kehamparan danau didepannya, langit jingga semakin menunjukan pesonanya, jingganya langit sore memantul indah dipermukaan danau.

Ariel melirik kearah Yuki, didapati wajahnya yang nampak dingin, tak seperti biasanya. Perasaannya mulai tak enak. Semilir angin yang berhembus kencang semakin merangsek masuk menusuk-nusukan disetiap sendi-sendi tulangnya. Senja pun mulai menghitam sebelum waktunya karena tertutup oleh mendung-mendung yang mulai menggelayut, menggantung disetiap sudut langit.
"Maksud lo apa, Ki?" Ariel akhirnya membuka suaranya setelah sekian lama saling diam dalam kebekuan.
"Gue denger semuanya obrolan lo sama Stefan tadi dikantor" pandangan Yuki memburu tajam kearah Ariel.
"Maksud kalian apa nutup-nutupin semuanya dari gue? Gue udah kaya orang bodoh, orang yang selama ini selalu lo ceritain, selalu lo banggain dengan segala cinta lo yang begitu besar itu adalah suami gue sendiri" ucap Yuki mulai mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Tapi gue ga pernah bohong sama lo, Yuk" Ariel berusaha membela dirinya, suaranya ia nadakan sehalus mungkin tak ingin menyulut emosi Yuki.
"Tapi lo udah ga jujur sama gue" bentak Yuki.

Ia menundukan wajahnya, tangisnya pecah bersama gemuruh petir yang terdengar seperti hendak mengiring sang hujan yang seolah akan turun.
"Gw udah anggep lo sahabat gue sendiri Riel, gue sayang sama lo tulus tapi apa yang gue dapet? Lo ga pernah ngehargain ketulusan gue, lo ga pernah bisa jujur sama gue" ucapnya sedikit terbata-bata karena menahan isak tangisnya, menahan sakitnya seperti tercekik saat rasa sesak memenuhi tenggorokannya, membuatnya sedikit sulit bernafas.
Sedangkan Ariel hanya mematung menyaksikan semua ini, seperti mimpi buruk yang menjadi realita.

"Sekarang coba jelasin ke gue maksud lo apa nutup-nutupin semuanya dari gue? Jelasin!!" Yuki terlihat semakin emosi, tekanan demi tekanan yang ia alami hari ini membuatnya sedikit lepas kendali.
"Ohh gue tau, lo sering kerumah gue, lo bermanis-manis didepan gue. Tapi dibelakang gue lo punya maksud buruk kan? Lo bener-bener ga tau diri Riel" Yuki semakin mengumpat Ariel tanpa ampun.
"Cukup Yuk, cukup.." Ariel yang sedari tadi hanya menjadi pendengar kini mulai bereaksi, ucapan Yuki terasa benar-benar menghakiminya sangat tak adil.
"Gue emang cinta sama Stefan. Tapi gue sama sekali ga pernah berniat ngerebut Stefan gitu aja dari lo. Gue masih punya hati.." Ucapnya.
"Lo tau gimana rasanya menahan diri untuk meredam hasrat memiliki seorang yang amat dicintai? Itu ga mudah Yuki.. Gue selalu ngebuang jauh-jauh pikiran itu setiap kali pikiran itu datang. Walau gue akui, gue juga pernah khilaf menginginkan cinta itu. Bahkan gue pernah berpikir gue rela jadi yang ke 2 tapi itu semua hanya muncul saat keegoisan gue ga bisa gue kendaliin. Lo harusnya ngehargai semua usaha gue dong Yuk" lanjut Ariel tak kalah emosi.
"Ngehargain, lo bilang?? Ngehargain orang yang masih berharap dapetin cinta dari orang yang juga gue cintai. Gue akan ngehargain lo, kalo lo pergi dari hidup gue" Yuki terlihat semakin emosi, pikirannya memang sudah kacau saat dokter memvonis penyakitnya yang menyeramkan itu.
"Lo jauh lebih beruntung dari gue Riel. Lo sehat, dan nyaris sempurna sebagai perempuan. Sedangkan gue,, gue itu penyakitan" nada suara Yuki terdengar melemah.
Ariel tertawa sinis mendengar ucapan Yuki.
"Lo bilang gue lebih beruntung dari lo? Hidup tanpa satupun orang yang cinta sama gue,, lo bilang beruntung? Justru gue orang yang paling menderita, dari kecil orang tua gue sudah memperkenalkan tentang kepahitan itu sampai sekarang. Coba jelasin ke gue, beruntung dari segi mananya?" Bentak Ariel, emosinya ikut memuncak.
"Lo cuma terancam sulit hamil dan kalo pun kemungkinan terburuk paling lo cuma ga bakal punya anak, tapi lo masih bisa bahagia kan sama Stefan? Sedangkan gue? Gue sama sekali ga ngerasain gimana rasanya dicintai orang yang gue cintai. Kebahagiaan sepertinya selalu menjauh dari hidup gue. Dan kalau gue bisa berandai-andai dan boleh memilih, gue tetap ingin memiliki Stefan, gue cinta sama dia. Dan andai itu bisa terjadi, gue rela nukar apapun yang gue miliki, apapun yang lo mau. Termasuk menukarnya dengan rahim gue"

Our Marriage LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang