Aku Sendiri Tidak Mengerti

311 15 4
                                    

Dan kini aku telah memilihmu
Untuk menulis bersama
Cerita hidup kita
Dalam buku harian kecil ini

Tak perlu lagi aku menunggu bintang jatuh melintas
Karena semua impian
Serta mimpi dalam lubuk ini
Telah menjadi nyata

Marilah
Melangkah bersamaku
Genggam erat tanganku
Sapu bersih segala kabut penghalang
Mimpi kita

Karena kitalah pusat pusaran waktu dunia yang menentukan nasib para manusia.

-----

14 Februari 2016, pagi hari yang biasa. Dunia masih sama, tak ada yang berbeda. Persepsi orang saja yang tak sama. Ya, hari ini dinobatkan sebagai hari kasih sayang atau disebut Valentine Day. Aku melihat berpuluh-puluh cokelat dalam berbagai varian dan bentuk tersebar meluas di sekolah, menjadikan tempat ini layaknya mendapat cokelat gratisan.

Mataku mencari seseorang. Ia menelusuri satu per satu kerumunan yang ada, mencari dengan teliti orang itu. Dan kutemukan dia di tengah kerumunan kakak kelas yang sedang asik mencuri perhatiannya. Mereka tampak terbuai oleh seseorang yang kucari, kakakku. Aku tahu raut wajahnya, menunjukkan ketidaknyamanan yang ditutupi. Kakak, kemarilah.

Aku tetap memandanginya dari kejauhan, berharap ia menangkap radar telepati yang kuberikan. Seketika aku mengedipkan mata, ia sudah berjalan ke arahku. Apakah teknik telepatiku benar-benar berhasil? Perpindahannya sungguh tak dapat kusadari, atau mungkin dia teleporter?

Aku melihatnya berjalan layaknya bebas dari kurungan api neraka, tersenyum lepas. Bahagia. Ia melambaikan tangannya ringan kepadaku, disertai senyuman dengan gigi yang muncul.

"Hai. Kamu kok sendirian? Mana temanmu?", sapa kakakku sambil menghela napas.

Aku menggeleng singkat, mengirimkan sinyal bahwa aku tidak bersama temanku dan aku tidak tahu dimana mereka berada. Ia mengerti, ia selalu mengerti. Diraihlah kelima jari tangan kananku olehnya, dan dibawanya ku berjalan menuju suatu tempat. Ia menyuruhku duduk di kursi taman yang menghadap ruang laboratorium, sementara ia sendiri berusaha membersihkan debu di kursi tersebut. Terpaut dalam keheningan, aku mengambil alih.

"Bagaimana, kak? Banyak yang ngasih cokelat, ya?", tanyaku menyindir sambil menyenggol tubuhnya pelan.

Ia tertawa dan menggeleng. Aku tak percaya jika pertanyaanku itu dijawab dengan gelengan dan bukan anggukan. Kaleb, sang pujangga pujaan gadis-gadis dapat sedikit cokelat di hari berjudul "Hari Kasih Sayang" ini? No! He should've been joking.

"Kamu sendiri bagaimana? Dikasih cokelat sama siapa, hayo?", tanya kakak balik menyenggolku. Aku tertawa. Terlalu lucu jika ada seseorang, khususnya pria (yang disinggung kakak) yang memberi cokelat padaku. No! He should've been joking for the second time.

Wajahnya tampak kebingungan akibat guyuanku. Aku langsung menggeleng dan menjelaskan bahwa tidak ada yang memberi dan akan memberiku cokelat. Lagipula aku tidak terlalu mementingkan hari yang seharusnya memang tidak terlalu dipentingkan ini. Semacam, apa namanya? Pemborosan uang untuk membeli cokelat. Pemborosan tenaga dan bahan bakar untuk datang ke toko bunga dan membeli rangkaian besar dari toko itu. Pemborosan waktu untuk menunggu saat yang tepat untuk memberikan semua kefanaan itu. Dan pemborosan hati, jika kiranya semua usaha itu tidak dihargai.

Namun, itulah yang dinamakan hari kasih sayang, di mana kamu berkorban segalanya, bahkan hatimu untuk seseorang yang kamu kasihi.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang