Bukan Warung Pecel Lele

218 10 0
                                    

"Krystal, tunggu!", panggil seseorang terburu-buru dari belakang pundakku.

Aku menoleh, ingin tahu siapa gerangan yang memanggilku. Sesosok berseragam sekolah yang sama sepertiku, ber-pomade, tampan, dan berbadan tegak. Ternyata itu Rain. Aku sedikit melengos karena jujur saja, aku tidak ingin bertemu dengannya saat ini.

"Kamu mau kemana? Sudah mau pulang? Ayo ikut aku!", tanya sekaligus ajaknya sambil menggos-menggos.

Aku tetap diam, hanya menatapnya. Aku menyuruhnya untuk bernafas terlebih dahulu sebelum ia meninggal karena kehabisan nafas.

"Mau kemana? Aku mau langsung pulang. Kakak sudah menungguku.", jawabku kepadanya dengan tatapan datarku.

Ia menghela nafas panjang dengan ekspresi seperti 'Duh!' sedikit meringis mengerutkan wajahnya.

"Sudahlah, ayo ikut saja. Aku mau ajak kamu makan.", katanya sambil menarik tanganku dengan erat, takut aku kabur.

Aku yang tidak bisa melepaskan tanganku darinya (walau sudah kupaksa dengan seluruh tenagaku) akhirnya terpaksa mengikuti keinginan si dewa hujan ini. Ia mengajakku masuk ke dalam H-RV nya yang berwarna putih dan membawaku kabur. Aku berdoa dalam hati agar ia tidak macam-macam terhadapku. Aku mencoba percaya kepadanya.

Dan sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah kami di restoran barat yang amat terkenal di kota. Ramai sekali di situ, hingga untuk dapat parkir saja susah.

"Sudahlah, pindah tempat saja. Gak enak makan di tempat rame. Pergi makan pecel lele aja, yuk.", sahutku menggurui saat Rain mencari parkir.

"Apa? Pecel lele? Untuk gadis secantik kamu? Oh, man.. you gotta be kidding me! It's not good for your beauty! Dan lagian, masa mau nraktir cewek cantik di warung pecel lele?", jawabnya menentangku, tetap memaksakan dirinya untuk memarkirkan mobil putih itu.

Aku diam, sedikit kesal karena pecel lele kesukaanku dilecehkan begitu saja.

Akhirnya kami berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran itu. Kami duduk di lantai dua, di meja dengan dua kursi yang menghadap ke halaman belakang, pantai. Memang beda ya,  restoran bintang lima yang ternama dan warung pecel lele dekat rumah. Segalanya berbeda. Suasananya, pelayanannya, sampai makanannya. Namun tetap saja, kamu bukan Kaleb dan semua ini bukan kebahagiaan yang aku inginkan.

Selagi pesanan kami dibuatkan, aku diam seribu bahasa. Aku tak tahu benar apa yang harus kukatakan, karena jujur saja, aku tidak menyangka bahwa kejadian semacam ini akan terjadi. Ia yang melihatku hanya diam dan menatap pantai dengan sangat terpesona langsung mengambil alih.

"Suka pantai, Krys?", tanyanya lembut sambil menatap rambutku.

Aku tidak menjawab, namun hanya mengangguk kecil. Tanpa membalas tatapannya.

"Aku pernah dengar kalau suara paling indah di dunia itu suara ombak pantai.", katanya lagi dengan lembut.

Kali ini aku terbangun dari lamunanku, membalas tatapannya. Tatapanku adalah tatapan bingung yang menyetujui setiap kata terakhir yang diucapkan ya. Namun, suara paling indah di dunia bukanlah suara ombak, Rain.

"Kamu salah. Suara ombak pantai memang indah. Tapi suara paling indah di dunia adalah suara detak jantung.", jawabku pelan namun dalam kepastian.

Ia seperti sedikit terlonjak dengan jawabanku, kaget namun setuju. Ia mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum, lalu tertawa.

"Kamu memang bukan gadis biasa. Dimana lagi aku dapat menemukan gadis sepertimu? Tidak ada!", katanya sambil tersenyum lebar, menunjukkan giginya yang putih bersih tak ternoda.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang