888 Kata

195 8 0
                                    

Bintang
Mulai saat ini engkaulah sahabatku
Engkaulah pelarianku dari kejamnya dunia
Tolonglah aku, wahai bintang
Tinggallah bersamaku

Dan jika waktu benar-benar akan pudar
Hingga tak ada lagi kesempatan kita bertemu
Ingatlah aku, wahai bintang
Akulah sahabatmu

(Di bawah kolong di tengah malam)

Aku mengintipnya dari luar. Kakak sudah tidur ternyata. Mungkin ia kelelahan.

Aku menutup pintunya perlahan-lahan dan kembali ke kamarku, berbaring menatap bintang.

Apakah aku seharusnya bahagia? Atau merasa berdosa?

Ciuman tadi benar-benar sangat membutakanku. Dan mungkin kakak. Kami seharusnya tidak boleh melakukan hal semacam itu. Kami harus ingat akan takdir kami sebagai manusia yang tidak dapat bersatu. Seharusnya kami ingat.

Tapi ciuman tadi juga benar-benar sangat meluluhkan. Rasanya seperti memekar di tengah taman yang sangat asri dan indah. Rasanya sejuk, penuh damai. Bintang pun ada di sana, menyaksikan kami berdua sambil cengengesan.

Oh, Tuhan! Dosakah kami?

Sejenak aku berpikir, mengapa kami harus menjadi saudara? Mengapa tidak sebatas teman sehingga takdir kami bisa berbeda? Mengapa Tuhan begitu jahat? Mengapa Ia tidak ingin kami bahagia?

Mengapa dan mengapa menghantuiku sepanjang malam, meninggalkan bekas hitam di bawah mataku pada esok harinya.

Aku melihat jam, pukul 08.35. Hari ini sekolah libur, karena ujian sekolah kelas dua belas. Aku saja yang libur. Kakak masih sekolah.

Kuputuskan untuk langsung saja membuat makan siang untuk kakak nanti. Aku mengeluarkan sekaleng kornet dan tiga butir telur dari kulkas, mengolahnya menjadi sepiring telur kornet kesukaan kakak.

Aku menunggunya pulang, bagai anak burung menunggu induknya. Termenung aku menatapi awan di teras rumahku. Hari ini awannya bagus sekali, seperti ribuan kapas. Cuacanya juga begitu cerah dan menyejukkan.

----

Aku terbangun di keramik teras rumahku. Ternyata aku tertidur selagi melihat awan. Aku menengok jam di dinding dalam rumahku, pukul 16.10. Seharusnya kakak sudah pulang, tapi sepatunya belum kembali di raknya. Dan makananku pun belum tersentuh sama sekali.

Aku memutuskan untuk menghubunginya. Kutekan nomor ponselnya, tersambung. Namun tidak diangkat. Perasaanku mulai tidak enak dengan semua ini. Ada apa?

Aku hendak menyusul ke sekolah, melihat keadaan. Tetapi bagaimana jika nanti pada saat aku ke sekolah, kakak tiba-tiba datang? Ah! Tidak! Nanti pasti ketemu di jalan! Sudah, aku berangkat saja!

Kukunci pintu rumah dan pagarku dari luar, meninggalkannya sendirian demi mencari kakak. Jalanku kupercepat hingga nafasku tak karuan. Cepat, pelan, cepat, pelan. Dan terus seperti itu sampai aku tiba di pagar belakang sekolah. Pagar itu bahkan sudah ditutup. Aku menengok ke sana kemari, mencari sesosok kakakku. Tidak ada.

"Cari siapa, dik?, tanya seseorang. Pak Satpam rupanya.

Aku langsung menanyakan padanya tentang kakakku. Awalnya ia tidak mengerti siapa orang yang kucari, tetapi setelah kuberi ciri-ciri yang lebih spesifik, akhirnya ia mengerti. Tapi tetap saja, bapak itu tidak melihat kakak. Katanya, kakak tidak lewat sini pada saat pulang sekolah tadi. Ia menyuruhku untuk bertanya kepada satpam di pagar depan sekolah, dan aku pun segera menuju ke sana.

"Permisi, pak.", sapaku sopan.

Ia mendongak kepadaku, tersenyum ramah, "Iya, ada apa, non?"

Wajah keriputnya tampak lelah. Ia sudah seharusnya bersantai di rumah dan tidak bekerja lagi. Sesaat aku merasa iba.

Aku menanyakan keperluanku kepadanya. Kali ini, tak usah susah-susah mendeskripsikan ciri spesifik kakakku, bapak itu sudah mengerti. Ia kenal baik dengan kakak. Ia bilang kakak adalah orang yang baik. Dan ia bilang, tadi siang kakak pulang bersama temannya.

Perasaanku berada di tengah-tengah antara senang dan kecewa. Aku senang karena ternyata kakak tidak apa-apa. Namun aku juga kecewa karena kakak tidak memberi tahuku apa-apa. Namun bukan saatnya untuk terpuruk dalam perasaan cengangku. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk mencari kakak.

Pulanglah, Krystal.

Apa? Kenapa pulang? Aku harus mencari kakak!

Pulanglah.

Kakiku seperti berjalan dengan sendirinya berbalik menuju kompleks perumahanku. Tak ada paksaan dalam diriku pada saat melangkahkan kaki, namun tetap saja, rasanya aneh. Ada apa dengan semua ini?

Kakakmu baik-baik saja.

Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kakak benar-benar baik-baik saja. Kakak bisa menjaga dirinya sendiri. Aku tidak perlu takut.

----

"Kakak dari mana saja? Kenapa tidak menghubungiku?", tanyaku sedikit berteriak karena sedari tadi aku sudah panik hingga cukup depresi.

Ia yang baru saja menutup pintu depan langsung menatapku, diam. Tak ada jawaban darinya. Ia hanya berjalan menuju kamarnya, menutup, dan mengunci pintunya.

Apa maksudnya dengan semua ini? Apakah dia marah terhadapku? Apa salahku?

Aku mulai mencari-cari kesalahanku, yang tidak kutemukan. Sejak kemarin kami baik-baik saja. Tidak ada masalah apa-apa. Tapi kenapa kakak aneh begini?

Aku menyusul dan mencoba mengetuk pintunya. Tetap tidak ada jawaban. Aku terus mengetuk hingga kurasa ia menyerah. Ia membuka pintu kamarnya sedikit, hanya menunjukkan wajah kumus dan lelahnya.

"Ada apa?", tanya kakak datar.

"Kakak kenapa?", tanyaku sedikit merajuk. Suaraku meninggi karena tertahan emosi.

Ia menggeleng singkat dan bergerak menutup pintunya lagi. Sebelum tertutup, aku menjegalnya, mendorong pintu itu agar tetap terbuka.

Wajahnya menunjukkan tekukkan wajah yang tidak enak.

"Aku salah apa, kak?", tembakku terus terang.

Ia masih menggeleng. Namun tatapannya seketika berubah sedih. Ia seperti sedang menahan tangis.

"Kakak, tolong! Jujurlah padaku.", aku memohon. Mataku mulai merintikkan permatanya. Pelan.

Ia hanya terdiam membisu, membiarkan aku tergenang oleh air mataku sendiri. Tidak ada jawaban hingga aku berteriak sambil menangis.

"Jawab aku, kak!"

Dan seketika ia langsung memelukku. Hatiku terasa sakit sekali. Air mata pun tak jenuh-jenuhnya mengalir deras membasahi kaos kakak.

Ia melepaskan pelukan singkatnya, menatapku.

"Maafkan aku, tapi aku mohon, mulai saat ini kita tidak boleh bersama lagi.", jawab kakak tanpa jeda. Singkat, padat, dan menusuk.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang