Tanyakan Kepada Moirae

211 10 0
                                    

KEMBALI KE KRYSTAL

Pagi ini mendung, tampaknya sebentar lagi akan hujan. Aku mengambil jaket serta payungku, dan segera berangkat ke sekolah. Kakak berangkat lebih pagi hari ini karena ada sesuatu hal, yang membuatku harus berjalan sendirian menuju tempat keramat setiap siswa itu.

Aku mengunci pagar dan berjalan sendirian, menyusuri jalanan beraspal kompleks rumahku. Masih ada bekas air hujan tadi malam di beberapa tempat yang membuatku harus berhati-hati saat berjalan. Udara pagi ini sangat sejuk dan dingin. Menambah semangat belajarku. Membasuh semua emosi di dalam hati ini.

-----

"Sialan! Kenapa harus hujan saat ini?", umpatku kepada hujan yang membadai ria pada saat perjalanan pulang sekolah. Aku yang sudah berjalan separuh jalan menuju rumah harus berlari untuk mencari tempat meneduh dan menghindari rintikan air hujan. Baju dan tasku basah, meninggalkan bau air hujan yang sangat pekat. Rambutku apalagi. Aku berteduh di bawah pohon mangga yang cukup besar di dekat tempatku kehujanan tadi. Walaupun tidak cukup untuk menghindari semua rintikan yang ada, setidaknya aku masih sedikit aman di sini.

Aku mulai merasa angin menerobos masuk ke dalam tubuhku serta membuatku beku kedinginan. Gigiku mulai bergertak. Tanganku memeluk diriku sendiri. Hari ini benar-benar sial. Bagaimana bisa hujan datang disaat payung dan bahkan juga jaketku tertinggal di sekolah? Sungguh sial!

Seandainya kakak ada di sini...

Seketika aku merasakan hangat suatu kain yang menutupiku dari kedinginan fana ini. Aku menoleh dan melihat sesosok pria tinggi dan jangkung, berkulit kuning kecoklatan, dengan senyuman melasnya sedang menatapku. Ia tidak melepaskan kain itu. Bukan, maksudku jaket itu, jaket yang dipasangkannya kepadaku. Jaket abu-abu polos tanpa motif, seperti milikku.

Apa?

Ini milikku.

Jaket ini milikku.

Bagaimana ia dapat mengetahuinya?

"Em, halo.", sapanya malu-malu.

Aku terdiam. Bingung ingin membalas apa. Aku tahu orang ini. Ia adalah kakak kelasku satu angkatan. Seorang yang lumayan eksis di sekolah. Seorang yang pandai dalam bidang akademik maupun non-akademik. Seorang yang dibanggakan sekolah. Idola lain selain kakakku. Dan kini ia di sini, dengan segala sesuatunya basah sama sepertiku. Maaf kak, kali ini nasibmu harus sesial nasibku.

"Halo. Emm.. siapa? Dan ini.. jaket?", jawabku pada akhirnya sambil menyentuh jaketku. Aku menoleh kembali, mengarah ke depan. Memandangi hujan.

Ia langsung dengan siap dan sigap memperkenalkan diri, seperti sudah direncanakan sebelumnya.

"Oh, maaf-maaf. Namaku Rainhard dari kelas XI IPS. Maafkan jika aku sedikit lancang, aku hanya melihatmu kehujanan dan aku tahu ini jaketmu, makanya aku menyusul dan langsung memberimu jaket ini. Tidak usah balik memperkenalkan diri, aku sudah tahu siapa kamu.", katanya menatapku sambil tersenyum. Ia manis sekali.

Aku balas tersenyum, tak dapat menahan betapa manis senyumannya. Namun aku penasaran, kenapa ia harus membawa jaketku?

"Oh iya, kak. Jaketku kok bisa ada di kakak?", tanyaku sok dekat agar terlihat lebih asik dan akrab.

Ia agak sedikit terkejut dengan pertanyaanku ini, namun kulihat ia dapat menenangkan diri dengan baik dan ia pun menjawab, "Tadi aku melihatmu meninggalkan jaketmu di meja taman sebelum pulang sekolah. Aku mengambilnya dan ingin mengembalikannya, namun kamu pulang duluan. Aku menatap langit saat itu, tahu bahwa sebentar lagi hujan dan kamu tidak memakai jaketmu atau bahkan membawa payung. Jadi kuputuskan untuk menyusulmu. Dan berakhirlah kita di sini."

Aku diam mendengar cerita singkatnya. Haruskah kamu sepeduli itu terhadapku? Siapa kamu?

Bau dedaunan mangga dicampur dengan tanah becek serta hujan yang tak henti-hentinya menghasilkan satu lagi benih cinta.

"Oh iya, tidak usah panggil kakak. Panggil saja aku Rain.", katanya singkat untuk mengingatkan.

Rain? Rain seperti hujan?

"Rain? Rain maksudnya hujan? Jadi, aku bertemu seorang hujan disaat sedang hujan.", tanyaku santai untuk memecah kecanggungan.

Ia tertawa, membuktikan bahwa aku telah berhasil memecahkan keheningan hati kami masing-masing.

"Mungkin memang Zeus ingin kita bertemu pada saat hujan seperti ini.", jawabnya tenang, menatap langit.

Aku yang masih tidak dapat mengalihkan pandanganku dari senyumannya, semakin penasaran. Ia menatap langit dan terpejam, mengambil napas sebanyak-banyaknya dan melepaskannya perlahan. Ia seperti menahan semua masalahnya jadi satu dan BOOM! dilepaskannya semua itu.

"Ada apa, Moirae?", tanyanya menatap balik wajahku yang langsung memerah.

Aku langsung mundur dan mengalihkan wajahku ke arah lain, berusaha menutupi kecanggunganku. Moirae. Kenapa Moirae?

"Moirae?", aku memberanikan diri untuk menatapnya dan menanyakan hal ini.

Ia tampak tak yakin dan sedikit terkejut (lagi) dengan pertanyaanku yang satu ini. Ia mengerutkan alisnya sedikit, berpikir keras.

"Apa kau benar-benar tidak tahu siapa itu Moirae? Dewa Moirae? Kukira kamu mengetahuinya.", tanya sekaligus jawabnya agak kecewa.

Tentu saja aku tahu siapa itu dewa Moirae, wahai hujan.

"Oh, oh, oh. Rupanya aku yang salah mengartikan pertanyaanmu. Kenapa Moirae? Karena ia mengatakan bahwa kamulah Moirae-ku.", jawabnya yakin penuh percaya diri.

Aku terdiam, menerawang matanya jauh. Pipiku memerah, namun aku tetap menyelidiki matanya. Aku berusaha masuk ke dalam lautan mata coklat tua itu dan melihat kekuatan itu.

Aku tak dapat berkata-kata lagi. Tak kutemukan jawaban di dalam matanya. Belum. Semua itu masih abstrak.

"Tampaknya hujan sudah reda sekarang. Kamu mau aku antar pulang atau kamu mau pulang sendiri?", tanyanya mengaburkan khayalanku.

Aku tersadar, terbangun dari khayalan tentang dunia di dalam mata seseorang. Senyumannya masih terpampang di wajahnya, indah.

Aku memutuskan untuk pulang sendiri saja. Aku tidak ingin kakak melihatku berjalan dengan pria yang tak dikenalnya. Tapi, hari ini benar-benar aneh. Kakak yang berangkat terlebih dahulu dan pulang lebih dahulu. Seperti sebuah takdir.

Moirae, apakah benar ini takdirku?

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang