Insting

373 17 1
                                    

Aku melakukan ritualku setiap malam, yaitu menulis buku harian di bawah kolong kasur. Kuno sih, tapi aku tidak bisa menghilangkan kebiasaan ini. Kebiasaan ini sudah mendarah daging sejak nenekku, mama, aku, dan mungkin berlanjut ke anakku. Aku mencurahkan seluruh isi hatiku kepadanya, karena hanya dialah yang setia mendengarkan. Karena hanya dialah yang selalu mengerti.

Aku mengintip ke dalam kamar kakak di sebelah. Terlihat dia sedang asik bermain game di laptopnya. Ya, dia bukan aku yang suka menulis di remang-remang kegelapan. Dia lebih memilih bergelap-gelap ria dengan gamenya daripada dengan seonggok buku lusuh. Namun, Kaleb tetaplah kakakku, anak dari mama. Ia tetap memiliki sentuhan magis yang dunia saja tak bisa melawannya. Ialah yang bisa mengerti aku setelah buku harianku. Ia seperti... Superman-ku. Aku menyayanginya. Aku membutuhkannya.

----

"Kamu pengen makan apa?", tanya kakak mengagetkanku. Ia muncul begitu saja di ruang tengah dan bertanya seperti itu. Aku yang sedang asik menonton drama korea favoritku, langsung terlonjak. Kaget. Sangat kaget. Kakak yang tahu bahwa aku kaget hanya tertawa.

"Apa sih, kak? Kaget tahu!", jawabku tinggi.

"Uuu.. cup cup.. Sorry, babe", balas kakakku sambil mengelus kepalaku. Ia selalu melakukan hal itu. Tidak pernah terlupakan olehnya untuk mengelus kepala kecilku ketika sedang merayu. Aku tertawa kecil, menyuruhnya duduk di sebelahku.

Aku memeluknya. Satu-satunya yang kupunya. Aku merasakan wangi parfum tubuhnya, kehangatannya, detak jantungnya. Kakak, tolong tetaplah di sini. Jangan tinggalkan aku. Aku membutuhkanmu.

"Ada apa? Kamu ada masalah?", tanya kakakku sambil memelukku balik. Aku hanya menggeleng, menahan air mata. Kupeluk dia lebih erat lagi, benar-benar tak ingin kehilangan dirinya.

"Kakak, bagaimana kalau malam ini kita tidak usah makan? Aku mager*1, kak. Aku betah di pelukan kakak.", tanyaku kepada Kaleb. Pipiku merona saat mengatakannya, sungguh. Jantungku pun langsung saja berdetak lebih kencang dari biasanya. Namun, kakak hanya tersenyum sambil mengecup kepalaku. Ia lalu berdiri dan menuju ke dapur. Tanpa bicara.

(Mager : Malas gerak.)

Aku mengikutinya ke dapur, penasaran dengan apa yang akan dilakukannya. Ia mengambil sesuatu dari dalam kulkas. Sepotong cheesecake kesukaanku. Ia meletakkannya di piring kecil dan memberikannya kepadaku.

"Ini untuk apa?", tanyaku mendangak (karena dia lebih tinggi dari aku).

"Sudahlah, makan saja. Adikku butuh gizi yang cukup untuk bisa menghangatkan tubuh kakaknya ketika dipeluk.", jawab Kaleb ringan namun hangat. Ia tersenyum.

Aku menyendok kecil cheesecake yang dibelikannya untukku, lalu memakannya. Cheesecake kali ini terasa lebih manis dan hangat -padahal baru keluar kulkas. Mungkin karena senyumannya yang sangat manis dan bekas pelukannya yang masih terasa hangat.

Kaleb memandangiku yang sedang menyendoki cheesecake sambil tersenyum. Dengan sabarnya ia menungguku menghabiskan makan malam kecilku ini. Tapi, ia makan apa? Aku segera menghentikan kegiatan menyuap cheesecake ke dalam mulutku.

"Loh, kakak makan apa?", tanyaku.

Ia seperti tahu bahwa aku akan bertanya seperti itu. Ia seperti sudah menyiapkan jawabannya dengan sebaik-baiknya.

"Nah, karena itulah aku membelikanmu cheesecake favoritmu malam ini. Habis ini ikut aku, ya", katanya semangat.

Ekspresi wajahku menunjukkan suatu kebingungan yang dengan mudah dibaca oleh kakak. Ia menyuruhku untuk kembali menyendoki cheesecake-ku sampai habis. Barulah setelah itu, ia mengambil jaket untukku dan untuknya, memakai jaketnya dan memberikan satunya kepadaku. Aku memakai jaketku juga, siap menempuh badai udara dingin di luar rumah.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang