Masa Penguncian

237 10 0
                                    

Aku mengunci pagar rumahku sambil terus berjalan menuju ke dalam rumah yang hangat dan terbebas dari hawa dingin yang disebabkan oleh air hujan.

Tak lupa juga kututup rapat pintu depan rumahku agar tidak ada angin dingin yang dapat melewatinya.

Kakak ada di sini, ia sudah pulang.

----

Dingin sekali malam ini. Walau hujan sudah reda, namun hawanya masih sangat terasa. Ditambah lagi memang kondisi rumahku memudahkan hawa dingin untuk masuk.

Aku memakai sweater favoritku yang kubeli saat kelas delapan di SMP. Sweater ini tidak bertambah sempit karena memang tubuhku yang berukuran kecil serta susah untuk bertumbuh. Namun untuk saat ini, aku bahagia menjadi orang kecil. Dengan demikian, sweaterku bisa menutupi tubuhku lebih lagi.

Aku duduk di depan TV di ruang tengah, seperti biasa. Kunyalakan TV-ku dan langsung saja aku mengganti channelnya ke channel nomor dua, yaitu SBS TV, stasiun TV Korea. Menonton drama Korea yang super romantis tidak membuat kedinginan yang aku rasakan berkurang. Justru, yang aku rasakan adalah kedinginan yang semakin bertambah. Argh!

Aku memeluk diriku sendiri, di balik sweater oversized-ku. Tetap saja tidak dapat terlalu menghangatkan.

Namun, sesuatu menyentuh kedua pipiku. Hangat. Kehangatan itu seketika mengguyurku sampai ke hati. Jantungku serasa kembali bekerja.

Aku menyadari bahwa itu adalah tangan kakak. Kedua telapak tangan itu menempelkan dirinya kepada kedua pipiku, menghangatkan sekujur tubuh ini.

"Nah, sekarang sudah nggak kedinginan lagi kan, adik manis?", tanya kakak menggoda.

Aku tertawa ringan lalu menoleh kepadanya. Ia berdiri di belakang sofa yang kududuki, memakai kaos putih polos yang membuat tubuhnya tampak semakin atletis. Ia tampan sekali.

Aku berdiri dari sofa yang kududuki, membelakangi TV, menghadap kakak. Kami saling menatap, tersenyum dalam diam. Tidak ada yang perlu dikatakan. Kata-kata tidak dapat mengungkapkan semua perasaan ini.

Pandangan kami terkunci dan kami mengalami masa-masa "dunia serasa milik berdua" selama beberapa menit. Ternyata ungkapan itu benar juga. Aku merasa seperti hanya aku dan dialah makhluk di dunia. Seperti Adam dan Hawa pada saat pertama kali diciptakan. Aku pun  dapat mendengar detak jantungnya, menggema bagai gong besar. Semua kehangatan itu tiba-tiba datang, menghapuskan kedinginan yang aku rasakan. Aku merasa bahwa pipiku mulai menghangat dan memerah, dan kulihat ia mulai salah tingkah.

Aku merasakan kehangatan jika berada di dekatmu
Aku merasakan dunia yang begitu sentosa bila bersamamu
Bahkan keharuman bunga mawar tak sanggup merekahkan cinta ini
Bahkan sinar sang mentari tak sanggup menyaingi hangatmu

Aku menikmati setiap detik masa-masa penguncian itu. Hingga aku sadar bahwa inilah saat untuk bangun. Kedinginan langsung saja membanjiri sekujur tubuhku kembali hingga aku merinding.

"Kakak, aku kedinginan.", kataku kepadanya.

Ia melihatku, memegang tanganku dengan kedua tangannya.

"Kamu dingin sekali", jawabnya tenang.

Ia lalu meniup telapak tanganku yang berada di dalam genggaman tangannya. Bukan tiupan seperti bersiul, tetapi seperti ingin mengeluarkan suara. Lembut dan hangat kurasa. Lalu ia berhenti, mengambil tangan satunya dan meniupnya juga.

Setelah itu ia hanya terdiam beberapa saat, seperti berpikir tentang sesuatu dan lalu mendekapku pelan.

"Nah, adik manis, apakah sudah cukup hangat?", tanyanya sambil masih mendekap tubuh kecilku ini.

Aku yang bersandar dalam pelukannya dapat mendengar dengan jelas lagu favoritku, yaitu detak jantungnya. Hangat sekali. Ia mendekapku dengan erat namun sangat lembut.

Ini sudah lebih dari cukup, kak.

Aku hanya menjawab, "Ini hangat sekali, kak. Tolong jangan lepaskan."

Kurasakan dia mengangguk tanda mengiyakan. Ia mendekapku semakin erat kali ini, mendekatkan tubuhku ke tubuhnya.

Kami berdiam cukup lama. Ia menghangatkanku dan aku dihangatkannya. Kami berdua mengusir semua hawa dingin suram itu pergi menjauh serta mengundang kembali kehangatan yang ada.

---

22.41
(kamar tercinta)

Setelah melakukan ritualku setiap malam, aku berbaring di atas kasurku. Aku merenungi semua kejadian-kejadian hari ini. Semuanya terlalu cepat untuk dilalui. Hujan datang terus menerus. Hujan... Rain...

Tidak. Rain hanyalah seorang Rain. Kakak kelas di sekolah yang tak kalah terkenalnya dengan kakak. Dia bukan siapa-siapaku dan begitu pun aku bukan siapa-siapanya.

Aku bodoh sekali sampai bisa mempertanyakan apakah ia adalah takdirku atau bukan.

Kami hanya kebetulan bertemu. Itu saja. Tidak lebih.

Sudahlah, Krys. Jangan biarkan semua emosimu memainkan akal sehatmu. Hati dan otak harus seimbang. Menggunakan hati saja akan menyakitimu dan menggunakan otak saja juga akan melukai orang lain.

Aku berdiam diri, menghela napas. Aku bersiap untuk metode melupakan yang sering aku pakai untuk melupakan sesuatu yang tidak penting. Melupakan hal-hal yang ingin aku lupakan, yang kadang membuat tidurku tak pulas. Namun rasanya hati ini masih menolak untuk metode itu. Entah mengapa.

Aku mengambil handphone-ku untuk mendengarkan musik instrument yang akan membantuku tidur dan melupakan semuanya. Dan sebelum kunyalakan instrument obat tidurku, kutemukan sebuah pesan. Salah, dua buah pesan dari nomor tidak dikenal.

"Halo."

dan

"Apakah benar ini Krystal?"

Aku kembali terdiam, memikirkan siapa gerangan sang misteri itu. Ingin kubalas pesannya akibat terdorong oleh gairah, namun kuputuskan untuk mengabaikannya saja. Menjauhkan segala kemungkinan hal buruk jauh lebih baik.

Langsung saja aku membuka aplikasi penyimpan laguku dan memutar playlistku yang berisi instrument karya beberapa composer terkenal. Kudengarkan nada demi nada indah yang teratur menenangkan hati dan pikiran. Hingga akhirnya aku tertidur.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang