Awal Baru

153 7 0
                                    

Aku menghabiskan malamku dengan bintang setelah mengantar kakak ke bandara. Ia baru saja lepas landas, pukul 23.00 tepatnya. Aku tidak merasa sedih, apalagi ingin menangis. Tidak sama sekali. Entah mengapa.

Mungkin aku sudah terlalu kebal dengan yang namanya luka. Luka bahkan sudah tak sanggup membuatku sakit lagi.

Aku sudah kebal, kak. Aku kuat sekarang.

Kukeluarkan catatan merah maroon-ku dari bawah kolong kasur, beserta pena untuk menulis dan kuluapkan semua isi hatiku yang tak dapat kucurahkan lewat kata-kata maupun tingkah laku. Malam ini aku tidak melakukan ritual itu di bawah kolong. Entah mengapa.

Sambil menulis, aku menerawang keadaan kakak di pesawat. Ia mungkin sudah terlelap di atas sana.

Kakak akan baik-baik saja.

Tulisanku terus memenuhi berlembar-lembar catatan merah itu, tak dapat berhenti. Sesuatu menggerakkan hatiku untuk terus menulis malam ini. Entah mengapa.

Aku akan memulai sebuah awal baru.

Bagiku

Dan bagi kakak sendiri.

----

"Ada apa, Krystal? Kamu kelihatan capek sekali. Kamu tidak tidur, ya?", tanya Miranda, teman sebangkuku yang cemas.

Miranda adalah teman sebangkuku sejak memasuki semester dua. Ia gadis yang cerdas, cantik, dan lembut. Ia selalu menghabiskan waktu luangnya untuk melakukan kegiatan seperti bakti sosial, mengunjungi panti asuhan, dan mengikuti berbagai macam lomba. Ia bahkan adalah wakil ketua OSIS yang baru. Seharusnya adalah sebuah kebanggaan bagiku menjadi teman sebangkunya.

Aku menggeleng sambil tersenyum kepadanya, "Tidak. Aku tidak apa-apa."

Ia menyentuh pundakku dengan lembut, menatapku.

"Kalau kamu butuh bantuan, aku siap kok!", katanya dengan suara ceria yang tidak dibuat-buat.

Aku balas menatapnya, tersenyum lagi. Ia benar-benar seorang dewi. Baik sekali. Matanya biru laut dengan bulu yang lentik dan alis yang tebal, menandakan ia wanita yang tegar. Aku mengangguk mengiyakan ucapan terakhirnya.

Apakah kita dapat berteman? Apakah kamu mau berteman denganku?

Seperti membaca pikiranku, ia tertawa dan menjawab, "Tenang saja! Tidak perlu sungkan! Kita kan teman."

Aku terlonjak seperti baru mendengar kabar bahwa ada zombie mengerubungi sekolahku. Ia bisa membaca pikiran.

"Tidak perlu khawatir, Krystal. Aku adalah temanmu.", katanya kembali meyakinkanku.

Aku mengangguk untuk kedua kalinya dan kembali dalam catatan merah maroon di depanku. Hari ini aku membawa catatanku ke sekolah, entah mengapa. Intuisiku mengatakan bahwa catatan merah itu adalah cara terbaik untuk mengenang kakak. Sekaligus melupakan dirinya.

Namun kini aku tak mengerti hendak menulis apa. Niscaya sebuah ide terlintas. Seperti kebanjiran, aku langsung menuliskan segala imaji dalam pikiranku. Catatan Seorang Bintang, batinku.

Aku menulis dan terus menulis hingga persendianku pegal. Aku bahkan tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan, terlalu fokus dengan fiksi dalam otakku.

Segalanya mengalir deras seperti badai yang menghajar suatu desa. Kata-kata tak hentinya keluar dari benakku untuk kuluapkan di catatan maroon yang selalu bersamaku itu. Hingga saat aku benar-benar berada di alam bifurkasi, Miranda menyenggolku, membuat sedikit coretan di salah satu huruf terakhir yang kutulis.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang