Bintang

210 5 0
                                    

"Kakak, kenapa kakak begitu baik kepadaku?", tanyaku sambil dengan berani menatapnya.

Ia seperti kesetrum, terkejut dengan pertanyaan tiba-tibaku. Ia berpikir lama. Tak ada kata-kata yang keluar. Otaknya berputar memikirkan sebuah jawaban untuk pertanyaan sepeleku.

"Nggak usah dipikir berat-berat, kak. Diam itu jawaban terbaik. Kalau memang kakak nggak bisa jawab sekarang, ya nggak apa-apa.", ucapku kepada kakak.

Ia menatapku, begitu serius dan penuh arti. Seketika ia menghamburkan segala perasaannya dengan mendekapku, dalam.

Kakak hangat sekali. Aku suka kakak.

"Karena aku cuma ingin lihat kamu bahagia. Mau sama aku atau enggak, yang penting kamu bahagia. Sekarang, selagi kamu sama aku, aku mau lakukan apa saja supaya bisa lihat kamu senyum terus.", kata kakak lirih sambil masih mendekapku.

"Kamu tahu, ketika ada seseorang yang benar-benar mencintaimu dan rela mati untukmu, ia akan merasakan kebahagiaan dua kali lipat darimu saat kamu bahagia. Dan ia juga akan merasakan kesedihan dua kali lipat darimu saat kamu sedih. Dan itulah tugasku di dunia. Sebagai perisai yang siap mengorbankan dirinya demi orang yang ia sayang.", sambungnya.

Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Air mataku ternyata sudah membasahi sweater yang digunakan kakak, meninggalkan bekas-bekas di wajah lusuhku.

Namun kakak pun tahu,
bahwa kita tak dapat saling memiliki.

Kurasakan dekapannya yang semakin erat di tubuhku. Aku pun tak berniat melepaskannya. Suara itu terlalu indah. Terlalu membawa fantasi bagi pikiran dan hatiku.

Akhirnya kekuatanku mulai kembali, "Kakak, tapi suatu saat nanti, kakak akan menemukan orang lain yang akan kakak sayangi lebih daripada aku dan pada akhirnya, kakak bukan lagi perisaiku. Kakak akan pergi.".

Ia melepaskan dekapannya, menatapku dalam-dalam. Penuh keseriusan. Ia menggenggam tanganku erat dan kuat, namun membawa ketenangan.

"Sayang, aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Wangimu, senyummu, segalanya tentangmu, aku mencintai semua itu. Lebih dari yang kau tahu. Kamu boleh tidak percaya, tapi hati gak pernah bohong, dik. Ia mampu mengucapkan cinta yang tak terucap dengan bibir. Ia mampu membuktikan semua janjinya. Dan jika aku mencintai wanita lain, itu adalah ibu.", ucap kakak kembali lirih.

Angin sepoi-sepoi di sore hari menjelang malam memasuki kamarku yang remang dari jendela. Aku masih belum berhenti menitikkan air mata. Mungkin ia benar, hati memang tidak dapat berbohong.

"Kakak, kakak tahu..", kataku tersendat menahan tangis.

Ia mendekapku kembali, "Kakak tahu. Takdir tidak mampu menyatukan kita, kan?".

Sejenak aku mendengar suaranya bergetar, namun ia tegar. Tidak sepertiku. Ia menahan semua rasa sakit itu. Rasa sakit yang takkan berujung.

Kakak merasakannya juga.

"Krystal, jika suatu saat nanti kamu telah menemukan dambaan hatimu, ingatlah, aku selalu di sini. Aku akan selalu ada untuk kamu. Aku akan tetap jadi perisaimu dan melindungimu.", katanya.

Aku menggeleng sangat tak setuju dengan perkataannya.

Aku tidak akan menemukan dambaan hatiku suatu saat nanti. Ia sudah di sini, kak. Ia sedang memelukku.

----

Malam ini aku kembali melamun dan menatap langit. Begitu pekat dan gelap, namun indah diterangi bintang-bintang. Kegelapan tidak selamanya buruk, kan? Kegelapan dapat berubah menjadi keindahan juga.

ExodusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang