Aku mendekati counter untuk membeli minuman dan aku dengan asal memilih kopi macchiato. Aku bosan dengan anggapan yang seiring waktu malah membuatku jengkel. Anak kelas menganggapku bahwa aku adalah orang yang bisa dimanfaatkan, apa aku terlihat seperti orang yang tak bisa melawan. Sialan.
Setelah mengambil kopi yang aku pesan, aku menghampiri meja diujung yang tepat berhadapan dengan kaca. Aku sedang ingin sendiri saat ini, namun handphoneku terus saja bergetar di saku celanaku. Ada apa lagi ini.
"Halo?"
"Lo dimana sekarang? Gue butuh lo nih."
"Siapa ini?"
"Elah, Raka nih. Cepetan kesini."
Aku mendegus mendengar namanya, anak ini juga selalu saja memuatku kesal. Cowok pemaksa ini harus aku apakan agar dia bisa diam. Untung saja dia ada gunanya, coba kalo tidak. Akan aku hujani dia dengan amarah yang bertubi-tubi dan memutuskan apapun perjanjian ini. Tapi, saat ini aku benar-benar tak ingin diganggu.
"Gue lagi gak enak badan, gak bisa kesana."
"Sakit apa lo, sampe gak bisa dateng?"
"Migrain, frustasi gue."
Tiba-tiba saja tanganku terangkat ke atas dan semakin tinggi.
"Sakit apaan lo? Sampe bisa minum kopi di kafe."
Aku menoleh kesamping dan wajah si bocah pemaksa ini langsung mendekat. Refleks tanganku mendorong wajahnya, karena terlalu dekat bikin deg-degan lagi.
"Apaan lo, deket-deketin wajah? Gak sopan. Duduk aja napa?"
Cewek mana yang gak kaget kalo waktu noleh tiba-tiba langsung ada wajah cowok, deket banget lagi. Huh.
"Hahaha, deg-deg an liat wajah gue. Curiga lo bakal naksir gue bentar lagi. Emang sih cowok ganteng suka banyak yang naksir."
"Wew, sok banget lo. Ya kaget lah gue...."
"Eh, bukan ini yang mau gue omongin. Kenapa lo sok sakit gitu bilang ke gue nya waktu tadi di telpon terus gak mau ketemu lagi. Jadi, sebenarnya lo serius gak sih? 1 pertanyaan lagi bagaimana masa depan perjanjian kita, mbak? Dan itu mata lo kenapa, kaya lagi nampung air? Mau nangis?"
"Ini cowok nyerocos mulu ya. Kapan gue bisa jawabnya mang? Ehem, bagian frustasi itu bener kok. Masalah di sekolah sih, lo gak perlu tau. Eh, tapi lo tadi berarti cuman ngetes doang ya?"
Aku langsung menyipitkan mataku kepadanya, maksudnya apaan ini.
"Gak ngetes, cuman mencoba."
"Sama aja keles."
Aku memutar kelopak mataku dihadapannya.
"Kenapa lo? Dimanfaatin orang? Atau gak dianggap sama orang"
Pertanyaan nya, terimakasih Tuhan. Dia bagaikan melemparkan panah tepat ke dalam jantungku. Apa wajahku langsung bisa terbaca sama orang?
"Bukan, apaan sih."
"Keliatan banget boongnya. Ngomong aja napa? Muka mau nangis gitu ditahan-tahan."
Mulutnya terbungkam seperti sedang menahan sesuatu namun tak bisa ditahan dan keluarlah tawa mengejeknya, dan matanya menyipit. Bukannya aku ingin mengeluarkan amarah, namun yang tak ingin aku tunjukkan malah terlihat di hadapannya. Aku tak sedang menahan tangisan, aku tak menahannya, aku tak ingin menangis....
"Aku tidak menahan tangisan, aku..."
Tawanya terhenti, saat mendengar isak tangisku. Aku menutup wajahku dan air mataku terus mengalir, dihadapannya. Aku malu, dan tak bisa berkata apa-apa, yang keluar dari mulutku hanyalah suara tangisan. Padahal sebelum dia datang aku hanya merasa jengkel, kenapa dia harus datang membawa tangisan.
Aku tak mendengar suara apapun darinya, dia benar-benar diam. Di tambah di kafe ini kami sedang ada di sudut jadi tak terlalu terdengar suara orang lain.
"Keluarkan semuanya. Semua yang kau tahan, anggap saja tidak ada yang melihatmu."
Entah mengapa, yang ia katakan membuatku mengatakan semuanya.
"Apa aku bodoh? Apa aku mudah untuk dimanfaatkan? Jika aku tak datang mereka menyalahkanku. Jika aku datang mereka malah menyuruhku untuk mengerjakan semuanya. Apa aku ini babu? Aku hanya ingin membantu, tapi mengapa mereka malah melimpahkan semuanya. Aku berusaha untuk diterima mereka, tapi mereka malah tidak menganggapku ada. Aku diam, mereka menyuruhku berbicara. Namun, saat aku berbicara. Tak ada yang mendengarkanku. Siapa disini yang salah. Mengapa mereka menganggapku bermasalah.. Aku hanya.."
Aku tundukkan kepalaku, agar air mataku tak terlihat. Terus memandangi jemari tanganku, mencoba untuk tak melihatnya. Aku tak menyadari bahwa ia sudah berada di sampingku. Saat aku sadari tangannya mendekapku dari samping, dan menepuk-nepuk bahuku dengan lembut.
"Semua akan baik-baik saja. Semuanya."
Ia berbisik menenangkanku, aku hanya bisa diam. Mengapa saat ini dia bisa mengontrolku? Menyuruhku untuk melakukan apapun. Namun semua yang aku rasakan seperti terangkat dan menghilang. Seberapa lama ia bisa membuatku seperti ini?
"Gue yakin lo bakal naksir gue setelah ini." Ia membisikkannya tepat di telingaku dan itu menghancurkan perasaanku yang sudah tenang ini.
"Sialan lu!"
Aku berdiri dan melihatnya tersenyum licik.
"Oke kalo gitu ikut gue sekarang."
Ia ikut berdiri dan menarik tanganku, otomatis tubuhku tertarik.
"Kemana?"
"Ke tempat lo bisa diem terpana, kayak liat wajah gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory Of You
RomanceAku menyukainya. Salahkah aku? Apakah jika aku menyukainya, semuanya akan berbalik arah dariku? Apakah karena itu aku, bukan orang lain? Lalu firasatku mengatakan, Mungkin kau, yang aku cari selama ini.