"Gue telpon si Rafi, nanti waktu dia dateng lo lakuin hal yang gue omongin. Lo ngerti kan?" Raka dengan tenang menyuruhku melakukan semua hal yang dia inginkan agar aku bisa terdeteksi-terkenali-terpeka-dan apapun itu- yang pasti Rafi melihatku sebagaimana aku melihatnya. Aku mendengarkan yanng ia katakan, mengangguk-angguk layaknya seorang anjing yang menunggu tulang kesayangannya dilemparkan untuk kembali ia tangkap dan memberikannya kepada pemiliknya-minus air liur yang menjijikan itu- yang untungnya aku harap tak seheboh anjing tersebut.
Raka sudah merencanakan misi pertamaku ini dengan matang dari 2 hari yang lalu, memastikan bahwa ini akan berjalan mulus sesuai perkiraannya. Pertama kali mendengar rencananya, hatiku sudah berjingkrak bahagia dan langsung mengeluarkan persetujuan saat ia meminta pendapatku. Dan akhirnya sekarang, aku berada di kafe tongkrongan mereka berdua ditemani Raka yang mencoba menelpon sahabatnya itu.
"Halo."
"Oy, Ka. Lo dimana? Temen-temen laen jadinya ngumpul hari ini jam 4-an. Kumpul di tempat biasa okey? Bentar aja lah. Lo luangin waktu buat sobat lo ini lah. Sok sibuk!. Jangan maen sama cewek mulu. Sini maen sama gue bareng sohib-sohib laen. Yo! Gue nunggu disini. Cepet dateng!"
Melihat tingkahnya saat menelpon temannya itu, sok keren sekali dia. Sambil mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. Aku bingung dengan alasannya bertemu dengan Rafi. Itu benar atau bohong? Dia melihatku langsung setelah berbicara dengan lelaki itu, berfikir sebentar lalu menghembuskan nafas seolah melihatku saat ini membuatnya terlihat dalam masalah.
"Sejak kapan gue harus berjuang gini demi elo?" tanyanya sambil memegang kedua pelipisnya hendak frustasi mungkin.
"Sejak perjanjian itu." Kataku lepas.
"Oke. Yang penting gue udah ngelakuin ini. Nanti saat gue butuh elo, lo harus datang kapanpun gue suruh." Entah itu ancaman atau perintah, aku hanya bisa bersenandung saja tak mau mendengarnya. Namun saat aku mendengar kata 'harus' aku langsung melotot padanya.
"Lo pikir gue babu lo apa? Datang kapanpun saat lo suruh."
"Yaudah kalo lo gak mau. Gak rugi gue. Batalin aja dah."
Ia hendak mencoba menelpon Rafi sambil bersiul, dan muncul keinginanku meneriakinya tepat di depan matanya bahwa dia itu brengsek, egois, bodoh dan semua sifat-sifat yang bisa mendeskripsikannya saat ini ataupun hal yang ia lakukan dulu padaku. Namun aku hanya bisa menahan semua amarah itu dan memberikannya senyuman untuk menerima permintaannya itu.
"Ok, setidaknya 15 menit-an dia nyampe. Lo siap-siap aja lah."
Ia melihat jam tangannya lalu merapikan rambutku, entah apa yang dia fikirkan saat melakukannya namun itu cukup membuatku terkejut sesaat dan langsung menepis tangannya. Ia berdeham, seperti tak sadar dengan apa yang telah lakukan lalu langsung menyuruhku untuk pindah tempat ke meja agak jauh dari tempatnya. Sesuatu bergetar di meja kami, dan ia langsung mengambilnya lalu melihatku dengan nada agak serius.
"Dia dateng."
Satu kalimat yang keluar dari mulutnya, membuatku langsung salah tingkah tak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia langsung mendorong punggungku mengarahkan tubuh ini ke meja yang dia maksud, menyuruhku untuk segera menduduki kursi itu. Setelah itu ia kembali ke mejanya semula, bertingkah seolah tidak terjadi apapun.
Rafi masuk, ia benar-benar datang. Setelah beberapa minggu yang lalu ia tidak pernah muncul lagi di tempat itu. Aku kembali terpesona melihat wajahnya , ia melewati mejaku dan terlihat bingung melihat orang yang dicari tidak ada dalam pandangan matanya. Ia terlihat malah seperti anak hilang, lucu sekali ekspresinya. Lalu ia langsung tersenyum saat matanya menangkap seseorang melambaikan tangan memberitahu secara tidak langsung tempat yang harus ia datangi.
Aku mencoba menenangkan hati dan fikiranku. Menarik nafas lalu menghembuskannya, mengulangi hal tersebut lagi dan lagi hingga aku benar-benar tenang. Namun sepertinya, saat ini hal itu tidak aku temukan. Rafi duduk bersamanya setelah disambut tepukan pada pundaknya oleh lelaki itu, mungkin sambutan antar lelaki selalu seperti itu. Aku melihatnya terus tertawa, sesuai dugaanku hubungan mereka memang benar-benar dekat. Perbincangan pun telah dimulai. Namun, ia terus melirik ke arah kiri dan kanan Raka, hendak mencari sesuatu namun tidak menemukan apapun. Lalu saat melihat lawan bicaranya, ia kembali tertawa bersama.
Dan tiba, saatnya. Rafi mulai berdiri mendekati konter resepsionis, hendak memesan minuman atau makanan-entahlah itu terserah dia- dan melewatiku. Namun,ia benar-benar tidak menyadariku. Haruskah aku berteriak untuk mencoba membuatnya melihatku. Menyapa pun tidak ia lakukan padaku, membuat kesal saja. Apa ia tak mengingatku? Mungkinkah hilang ingatan? Ah, persetan dengan ingatannya. Lalu saku jeans ku bergetar membuatku terkejut, Raka mengirimiku line mengatakan bahwa sekarang waktunya.
Rafi sudah sampai di tempat tujuan, mencoba memesan yang ia inginkan. Aku mulai berjalan mendekatinya, menghitung langkah demi langkah dan berhenti di belakangnnya. Oke, sebentar lagi kami akan berpapasan pada saat ia berbalik. Sebentar lagi, siap sebentar lag-.
Lagiiii. Dan ia malah menundukkan-menunduk-DIA MENUNDUK KAWAN-KAWAN!, aku terdiam melihatnya mulai mendekatiku-menunggu ia mendekat- dan kecewa saat aku akan mencoba berbicara dengannya, namun suaraku tak terdengar, tenggorokanku tak bergetar. Bibir ini tak menuruti pemiliknya. Dan ia mulai lewat layaknya angin yang terasa hampa. Tanganku mengepal dan tanpa sadar aku sudah menjulurkan tanganku padanya. Ponselnya berdering, hilang sudah rasa penasarannya pada sosok di sampingnya. Sialan!
"Gue--"
Dan ia mulai menengadahkan kepalanya mencoba melihatku namun berhenti di tengah perjalanan kepalanya. Suara itu! suara dering ponselnya membuatnya ia kembali menunduk merogoh barang itu, melewatiku yang mulai berbicara ini layaknya angin yang lewat terasa namun sesaat. Pundak kami bertabrakan namun ia hanya bergumam maaf tanpa melihatku. Meninggalkanku yang tak bisa berkata apa-apa. Aku tertawa hambar menertawakan diriku sendiri.
"Persetan dengan rencana sialan ini." Gumamku lalu berbalik, mengejarnya lalu menarik tangan lelaki itu membuat ia melihatku secara paksa dan melupakan suara seseorang yang ada di dalam ponselnya. Aku menatap matanya langsung dengan yakin.
"Gue suka sama lo."
Gн�m�[
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory Of You
RomanceAku menyukainya. Salahkah aku? Apakah jika aku menyukainya, semuanya akan berbalik arah dariku? Apakah karena itu aku, bukan orang lain? Lalu firasatku mengatakan, Mungkin kau, yang aku cari selama ini.