Bodoh

469 24 0
                                    

Namun setelah menyeberangi jalan yang dilewatinya. Langkahku berhenti saat melihat ia tersenyum kepada perempuan di depannya, mengelus dan mengacak-acak rambut perempuan itu.

Lalu memegang tangannya memasuki kafe di depan mereka.

Aku terdiam sejenak, bersama angin yang menyapa rambutku.

"Apa yang lo suka dari dia?"

Aku langsung membalikkan tubuh ke arah suara itu. Aku terkejut, ia menatapku seolah-olah mencari sebuah jawaban dari mataku.

Raka.

"Bukan urusan lo."

Aku masih kesal dengan insiden yang dulu.

Memalukan.
Sangat memalukan.

Aku meneruskan langkahku melewati tempat kafe itu.
Dan ia mengikutiku.

"Jangan ikuti.."

"Gue liat semuanya."

Ia memotong kata-kataku, mendengar darinya membuatku ingin marah.

"Sejak kapan?" tanyanya lagi.

Dia benar-benar...

Aku langsung berbalik mencoba untuk menenangkan hatiku.

"Bisa gak sih lo berhenti ngebuat kesimpulan yang aneh. Jangan sok tau deh sama kehidupan gue."

"Melihat, menatap, tersenyum, tertawa."

".."

"Melihat lo ngomong aku-kamu, jijik gue."

Saat dia mengatakannya, aku langsung sakit hati mendengarnya.

"Peduli amat! Ini kehidupan gue lah. Lo jangan sok atur-atur," kataku sedikit berteriak.

"Kenapa lo suka sama Rafi?"

Aku meneruskan langkah ku tanpa berbalik.
Dia memegang tanganku, dan langsung membalikkan tubuhku.

"Apaan sih! Kenapa lo ingin tahu jawabannya?"
.
.

"Karena gue suka lo!"
.
.
.
.
.

Aku langsung membuka mataku.
Apa yang terjadi tadi, benar-benar seperti kenyataan.

Yaampun mimpi apa itu?
Bagaimana mungkin Raka menyukaiku?

Kenapa juga dia masuk ke dalam mimpiku.
Saat aku melihat jam weker disamping tempat tidurku.

Jam 6.

AKU KESIANGAN.
.
.
.

Waktu istirahat, kantin selalu penuh akan orang-orang yang ingin memenuhi rasa laparnya.
Begitu juga aku dan Nita. Kami sedang makan batagor di kantin. Namun selama kejadian Rafi bersama wanita itu, aku selalu memikirkannya.

"Duh, nit. Gue bingung, harus gimanaaaa."

Sambil mengguncang-guncang pundaknya. Aku benar-benar bingung.

"Aduh.. Kenapa sih lo vik. Nyantai dongg."

Ia melepaskan tanganku. Dan menghentikan batagor yang akan dia makan.

"Gue suka sama cowok yang udah punya pacar."

Terus terang aku tak ingin membicarakan kepada siapapun. Namun aku sudah bingung dengan perasaan ini.

"Gila ya lo vik? Setampan apa sih cowoknya sampe lo suka sama dia?"

"Awalnya sih gue gak tau. Tapi waktu gue liat, dia sama cewe bareng ke kafe."

"Nyatain aja perasaan lo. Mungkin bakal nerima lo jadi pacarnya. Tapi di duain dong, hahaha."

Tawa nya terbahak-bahak. Aku berfikir agak lama, memikirkan apa yang benar-benar harus aku lakukan.

"Iya, mungkin harus gue lakukan," kataku meyakinkan diri. Lalu menghabiskan batagor yang tinggal satu sendok lagi. Lalu berdiri.

"Eh, Vik. Lo gila apa? Gue becanda yaelah. Itu bukan saran yang harus lo lakuin. Yaampun! Anak itu!"

"Gue juga bener-bener gak ngerti sama diri gue sendiri. Gue ke kelas duluan ya."

Saat aku melangkah melewati koridor setiap kelas. Tali sepatuku terlepas sebelah, lalu jongkok untuk mensimpulkan lagi. Aku berdiri kemudian saat langkah ketiga, aku masih memperhatikan tali sepatuku. Namun aku menabrak seseorang.

"Aw."

"Hah? Elo"

"Raka?"

Memory Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang