Pertanyaan & Telpon

144 10 0
                                    

 "Coba lo liat awan, lepas banget ya dia?" ia tertawa sambil menunjuk awan.

"Maksud?" tanya ku bingung.

Setengah jam yang lalu dia menangis lalu sekarang, setelah ia berhenti dengan tangisannya. Ia tertawa seakan tak terjadi apa-apa, berubah 180 derajat dari tadi. Terus-menerus membuatku bingung, entah apa yang dilakukannya saat ini membuatku tak ingin memikirkannya lebih lanjut. Mungkinkah ia gila? Tak mungkin.

"Lo mau tau cerita selanjutnya?" tanya nya, dan ia kembali ke sosok setengah jam yang lalu. Aku mendelik mendengarnya, apa dia mau menangis lagi. Aku tak ingin memeluknya tanpa sadar lagi.

"Gue mau balik aj-"

"Kakak gue, yang harusnya penerus perusahaan ayah. Malah gak pernah hadir ke bangunan itu, sekali dateng cuman waktu rapat penting doang. Dia itu sukanya maenin cewek sampe pernah ngehamilin cewek, dan mama gue mati-matian nutup mulut cewek itu-dan gue sadar bahwa itu mantannya dulu ternyata-biar gak ngomong apa-apa, dan ngasihin uang biar diem. Dia itu bener-bener brengsek, malem dia pergi clubbing, pulang jarang ke rumah. Entah apa yang dia pikirin, namun ayah gue tetep mau ngejadiinnya penerus perusahaan."

Asalnya tadi aku akan meneriakinya karena memotong perkataanku dan terus saja berbicara. Tapi setelah mendengarnya sampai saat ini, membuatku berfikir mungkin lelaki ini terlalu banyak mempunyai masalah itu benar. Hidup dalam keluarga seperti itu mungkin membuatku benar-benar gila.

"Lalu, gue yang akhirnya dilirik sama ayah gue. Yang selama ini gak pernah merhatiin gue, demi perusahaan nya yang punya masalah tentang pembangunan di wilayah barat. Mencoba ngejodohin gue dengan anak pemilik mitra perusahaanya, dan gue yang selama ini bisa diam. Cuman bisa tertawa setelah ngedenger perintahnya, semakin lama gue semakin pengen keluar dari lingkaran 'keluarga' sialan ini."

Dia tertawa hambar semakin lama semakin tak berhenti, aku menepuknya dan ia mulai berhenti tertawa dan mulai masuk ke imajinasinya waktu diam. Entah dia melamun atau apa, saat tanganku berada di depan wajahnya, matanya tidak berubah tempat. Dan kami terus terdiam beberapa saat.

.

.

.

"Oke, jadi gue bakal jawab semua pertanyaan lo tentang Rafi selama 30 detik, dimulai dari sekarang."

Jarinya langsung menekan tombol start di aplikasi stopwatch dalam handphonenya, membuatku langsung mengatakan hal-hal yang aku ingin ketahui tentang Rafi, orang yang membuatku memikirkannya sejak pertama kali melihatnya di perpustakaan itu.

"Sebentar! Lo gak ngasih gue waktu buat mikirin pertanyaannya. Apa.. Apa dia..?"

"5 detik terlewat."

Apa yang harus aku tanyakan jika ia melakukanya seperti ini, saat aku menyatakan ingin mengetahui lebih jauh tentang sahabatnya itu. Dengan cepat ia meraih telpon genggamya itu lalu langsung menyuruhku bertanya tanpa mengatakan apapun, ia langsung memulai sesi pertanyaan ini.

"nama lengkapnya?" tanyaku dengan menghembuskan nafas, bersedia untuk mengikuti permainannya ini. Secepat kilat otakku langsung bekerja sama denganku dan pertanyaan pun terus terproses dengan jelas hingga aku bisa mengatakannya.

"Raffi Adiraksa Wijaya"

"Umur?"

"18 tahunan mungkin-13 detik terlewat-lan.."

"Sekolah?"

"Udah kuliah."

"Loh kok, emang ulang tahunnya kapan?"

"5 Mei tahun 1996-18 detik.."

"Kenapa bisa?"

"Ya bisa lah, dia SMP sama SMAnya aksel."

"Ok, sifatnya?"

"Pemalas, suka main game, dia pintar dikelasnya, trus akhir-akhir ini dia suka diem di perpustakaan umum itu.Entah mau ngapain."

"Pacaran sama cewek aneh itu sejak kapan?"

"2 bulan yang lalu, dia bukan tipe setia sih. Selesai!"

Aku langsung menganga terkejut, tak menerima pernyataan selesai itu, aku berkali-kali mencoba untuk bertanya secepat mungkin, tapi dia malah menjawabnya dengan malas dan mengatakannya agak lambat.

"Lo curang! Lo jawabnya santai gitu, tapi gue harus cepet nanyanya."

"Serah gue lah." Jawabnya dengan enteng lalu berdiri.

"Yuk, pulang. Udah mulai sore nih jam 5 tuh." Ia menunjukkan jam tangannya dan memang benar langit mulai menguning. Aku yang masih ingin diam disini, tak mengikutinya untuk pergi. Aku masih ingin terus melihat pemandangan ini.

*Rumah Vika*

"Pertama, apa yang harus gue lakukan?"

"Ok pertanyaan bagus, bukankah itu yang harus kita pikirkan paling awal-atau mungkin engga- Duh! Harusnya apa sih yang gue omongin buat minta bantuan ke dia?"

Entah sejak kapan, aku mulai berbicara sendiri di depan cermin ini. Apa yang harus aku katakan? Bagus tidak sih aku meminta bantuan kepadanya? Perjanjian bodoh ini, apa harus dilakukan hanya untuk mendapat lelaki itu? Aku benar-benar bingung.

Harus lakukan apa? Apa yang harus aku lakukan?!

Tanpa aku sadari aku terus berputar-putar di satu tempat dan seseorang membuka pintu kamarku membuatku kaget.

"Kenapa kau? Seperti orang gila saja, suara mu menggangguku di sebelah! Bisa tidak bicara pelan-pelan. Aku sedang UTS ini, tadi pagi dimarahi asdos lagi gara-gara terlambat. Apa kau saja yang punya masalah?!"

"Ya maaf kak, baru inget aku, kamu ada disebelah. Emang kapan pulang? Aku pelan-pelan deh ngomongnya."

Ia melihatku agak lama, tak yakin dengan apa yang aku katakan. Aku melihatnya dan mengangguk beberapa kali. Ia akhirnya pergi keluar tanpa menutup pintu.

"Huh, datang-datang udah marah, curhat lagi. Gak nutup pintu juga. Nyebelin!"

Sambil menendang angin aku menginjak-injak lantai.

"Apa? Ngomong apa?!"

Dia kembali lagi sambil kedua tangannya berada di pinggang, menyenderkan bahunya dipintu.

"Enggak kok. Cuman ngomong maaf-maaf doang kok. Udah sana belajar! Uts kan?"

Dia kemudian menendang pintu dan pergi. Dasar, punya kakak kok pada banyak uratnya yah. Selalu menakutiku.

Telponku berbunyi, Raka langsung muncul di layar. Oke, baiklah katakan saja apapun yang aku inginkan, tak perlu mencoba basa-basi.

"Halo.."

"Lo bisa terhitung cepat dalam menjawab telpon gue kali ini.Oh mungkinkah gara-gara kemarin? Hahaha. "

"Terserah lo lah. Ayo kita lakukan, lebih cepat lebih baik."

"Apanya?"

"Suka pura-pura bego ah, ya perjanjian elo sama gue."

"Gue kira lo bakal ngelupain si Rafi, dan beralih ke gue. Hahaha. Padahal susah lo ada cowo kayak gini mau ngomong sama lo."

"Trus, apa yang harus gue rasain. Bahagia? malu-malu meong ngomongnya? Duh, gue bahkan liat wajah biasa-biasa aja tuh. Bagian mana yang bisa buat gue ngerasa kayak gitu?"

"Ah suka gitu ngomongnya. Belum nyadar itu namanya. Harusnya sih ngerasa gitu. Mungkin masih loading wkwkwk."

"Nih cowok pede banget. Pernah gak sih lo disakitin cewek sampe jadi kayak gini? Agak gila soalnya."

"Hah...."

Aku tertawa agak lama. Namun suara di seberang telpon ini malah tak terdengar apapun. Hening sesaat. Apa mungkin dia benar-benar mengalaminya?

"Raka? Lo masih disana? Halooo."

"Eh, gue tutup dulu ya. Gue tiba-tiba disuruh beli sesuatu diluar."

"Oh. Tapi gue mau nan-"

Ia langsung menutup sambungannya, dan aku langsung disambut suara sambungan terputus. Apa ada yang salah tadi?

Memory Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang