Rencana

154 10 4
                                    

"Misi pertama! Kenalan!"

Spidol itu terus bergerak sesuai dengan keinginan pemiliknya. Membuatku terus melihat benda bergerak itu, diikuti suara yang tegas si pemilik itu aku mengikuti arahan yang ia berikan.

"Ok, sebelumnya gue harus tau dulu ini cinta tipe apa? cinta pengagum rahasia, atau cinta yang tak terbalas?"

Aku mengernyit mendengar kata-kata yang ia lontarkan. Entah mengapa aku tak suka dengan hal yang ia tanya itu.

Aku berdeham lalu berfikir, apakah aku mengalami ke dua hal itu. Menurutku ke dua-duanya cukup menyakitkan jika aku benar-benar mengalaminya, menyedihkan sekali.

"Cinta tak tersampaikan, gue rasa. Paling menggambarkan gue saat ini."

"Lo pernah kenal Rafi?"

"Gak."

"Lo pernah ngomong sama dia?"

"Pernah."

"Ngomong apa coba?"

Aku mulai mengingat-ngingat apa yang pernah kami bicarakan, kami hanya mengobrol sekali-eh-bukan dua kali.

"Itu berarti lo bener-bener cuman liat wajah dia doang. Gak ada rasa spesial kali. Lo cuman pengagum dia doang."

Aku langsung melihatnya, sepertinya ia mendengar yang aku gumamkan tadi.

"Setidaknya gue butuh pembuktian. Karena itu buat dia jatuh cinta sama gue. Kalo gue ngerasa suka berarti bener, kebuktian."

Ia tertawa, namun tawa seolah meremehkanku. Aku membalasnya dengan mendengus, mataku langsung menyipit lalu memutar bola mataku di hadapannya.

"Ayolah, lo mau gak ngebantuin gue gak? Nanti imbalannya gue bantu lo juga sama kasus lo yang laen."

"Entah lu bodoh atau apa, lu gak bisa ngebedain antara suka karena cinta atau kagum."

Aku mendelik mendengara omongannya, kali ini aku langsung memukul tangannya. Ia dengan cepat menarik tangannya lalu mengusap-usap seolah terasa benar-benar menyakitkan. Padahal aku hanya memukulnya sekilas, aku saja tidak merasakan apapun setelah itu.

"Karena itu-."

"Gue butuh pembuktian. Iya, kan?"

Ia menyela langsung perkataan ku, dan dengan percaya diri bertanya kembali untuk mengetahui alasan sebenarnya aku ingin membuat Rafi jatuh cinta padaku. Aku menatapnya untuk meyakinkan bahwa ia harus mengikuti apa yang aku inginkan saat ini. Ia terlihat ragu-ragu dan mulai mengambar garis yang terus melingkar, memperlihatkan bahwa ia seperti tak yakin dengan rencana ini.

"Sudahlah, lo mau gak?"

Ia terdiam berfikir ulang tentang keputusannya, ini bukan keputusan seperti memilih makanan yang diasuka. Kenapa lama sekali ia memutuskannya. Ia mengaruk-garuk tengkuknya dan menerima permintaan.

"Oke, baiklah. Tapi gue agak ragu ini, entah dia bakal jatuh sama cewe kayak lo atau enggak. Agak susah sih, cewek pendek wajah pas-pas an kayak lo ngedapetin cowok kayak Rafi. Yah kalo dibandingin sih kaya bunga bangke sama mawar."

Iya tertawa terbahak-bahak, lalu langsung terdiam. Berdeham saat aku melotot padanya.

"Ok, ayo buat lo dikenal sama Rafi."

"Ok!"

Dia terlihat lama memandangiku, kemudian spidol yang ada di tangannya terus mengetuk kepala. Berfikir cukup lama dari biasanya.

"Okey, lo mau kayak betti lavea. Di ubah jadi cantik?"

"Hah? Gue udah cantik."

Dengan percaya diri aku katakan padanya, dan dia langsung tertawa mendengarnya. Benar-benar lama sambil terus melihatku dari ujung kakiku sampai kepala. Karena risih diperhatikan, aku langsung berbicara dan memotong tawa dirinya.

"Bener kok! Masa lo gak nyadar sih?"

Sebelah kakiku menginjak tanah sebal, namun setelah itu aku mencoba untuk tersenyum cerah di hadapannya. Ia memang berhenti tertawa, namun diam agak lama lalu berdeham.

"Terserah lah, lo mau cantik apa kagak. Dilihat darimanapun wajahlo kaya bebek item, eh putih deng kasian. Tapi kan, sama-sama aja bebek."

Dia kembali menahan tertawa, mendengar perkataannya refleks aku menginjak kakinya. Menghasilkan suara teriakan agak keras nan membahagiakan.

"Lo juga jelek! Muak malah gue liatnya." teriakku tak terima.

"Wah, lo bener-bener gak bisa bedain ya cowok ganteng-kece-gini, sama cowo jelek. Lu gak tau, mantan gue berapa? Dan siapa yang mutusin duluan? Liat tuh di belakang meja deket kasir, itu cewek yang duduk berduaan. Gue udah nyadar bahwa mereka suka sama gue. Udah terbukti kan?! Mata lo dimana sih, peka juga gak. Liat oke?!"

Dia mengisyaratkan aku untuk berbalik, aku melihat dua perempuan yang manis melihat kami-mungkin Raka seorang- tersenyum ke arah ku.

Dia membalas nya, senyuman polos dan manis ia tampilkan ke kedua perempuan disana, dan memang benar mereka berdua kembali tersenyum dan ribut tidak jelas saat Raka kembali menatapku.

Mengapa perempuan-perempuan bodoh itu terpikat olehnya. Si brengsek ini kan hanya memganggap wanita adalah mainan. Harusnya sadar dong ada lelaki lain yang patut untuk dikejar, jangan mengejar orang seperti dia. Yang hanya memikirkan penampilannya terus. Aku mendengus melihat wajahnya.

"Percaya kan? Banyak cewek yang mau ngomong sama gue, tapi gue malah diem sama bebek kayak gini di pojok kaca. Aduh! jujur ini ngerusak reputasi gue."

Dia menggeleng-geleng kepalanya, ini seperti sebuah hal yang tak boleh dilakukannya. Mencoreng reputasi dirinya, seberapa besar sih reputasinya?

"Sialan!"

Aku cubit tangannya, ia mengaduh untu kedua kalinya.

"Dan tersiksa seperti ini? Aduh bagaimana hidup gue kedepannya sama lo."

Ia menampilkan ekspresi kesedihan yang tak jelas, yang membuatku ingin memukul wajahnya.

"Diam aja napa! Lo gak bakal kesiksa kok, asal lo ngomong baik-baik sama gue."

Gue meyakinkannya sambil menyentuh tangannya, lalu ia menatapku kemudian mengalihkan tatapannya ke tangannya. Ok, tanganku mulai bergerak tanpa sadar. Aku menampar tangannya dan langsung minum air.

Memory Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang