Lari

211 13 3
                                    

 "Ke tempat lo bisa diem terpana, kayak liat wajah gue."

Kami terus berjalan beriringan bersama, tapi yang aku rasakan malah ia sedang menyeretku untuk mengikutinya saat ini. Suara deru kendaraan yang saling bersahutan menyadarkanku, bahwa tanganku masih digenggam olehnya. Aku melepaskan genggamannya, namun ia malah kembali meraih tanganku lalu mengatakan sesuatu. Namun, aku tak mendengarnya karena suara motor yang melawati kami cukup keras dan mengganggu telinga ini. Aku berhenti membuat ia ikut berhenti.

"Kenapa?" kataku tak mengerti dan mencoba kembali melepaskannya.

"Orang yang menelpon tadi melihat kita keluar dari kafe. Gue pikir mungkin jika kita saling pegangan tangan, membuat dia gak bakal ngikutin. Tapi, ternyata ia masih ada dibelakang." Ia sambil menoleh kebelakang mencari seseorang yang menurutnya sedang mengikuti kami.

"Yang mana?" Aku ikut menoleh ingin melihat penguntit itu. Ia malah memegang wajahku dengan kedua tangannya, menahanku untuk melihat kebelakang. Aku berhenti bernafas sesaat, lalu cepat-cepat melepaskan kedua tangannya. Pipiku memanas, mencoba untuk menyembunyikannya aku langsung menunduk.

"Jangan, nanti dia curiga." Jawabnya dengan pelan, ia tak menyadari bahwa wajahku memerah. Ia malah terus mengajakku melanjutkan untuk berjalan.

Dan aku tiba-tiba ingat, mungkin perkataan nya saat kami keluar tadi hanyalah candaan sesaat. Karena sadar bahwa ada seseorang yang mengikutinya, aku langsung berhenti dan memandang wajahnya.

"Jadi, lo cuman bercanda tadi waktu mau ngajak gue pergi?"

"Emang lo percaya?" tanyanya tak percaya.

"Gue kira lo beneran, ternyata cuma bualan semata." Merasa kecewa dengan janjinya itu, aku sadar bahwa terlalu bodoh untuk mempercayai lelaki pembohong itu.

Raka kembali menoleh kebelakang lalu diam sesaat seperti memikirkan sesuatu. Terlalu lama memandangnya, membuatku berfikir bahwa lelaki ini mungkin terlalu banyak bertemu dengan masalahnya. Ia bahkan sampai diikuti oleh seseorang.

"Berhubung si bebal itu masih ngikutin gue, ayo lakuin hal yang lo kecewa-in tadi." Ia mengatakannya dengan santai, meninggalkanku terdiam tak mengerti yang dia katakan.

Ia langsung mengajakku berjalan meninggalkan seseorang yang mengikuti kami. Aku menoleh untuk melihat siapa orang itu, dan yang aku lihat adalah wanita berkacamata dengan sendu melihat kami berdua.

"Lily?" kataku dengan lemah. Mengapa ia mengikuti Raka?

Ia berhenti di depan motor ninja, dan melepaskan genggaman tangannya.

"Lo ingin liat sesuatu yang ngebuat lo terpana kan? Ikuti cara gue buat nikmatin nya."

Ia langsung menaiki motor itu dan melihatku yang hanya diam tak berkata apa-apa. Ia mengisyaratkanku untuk menaiki motornya, namun aku menggeleng. Tak ingin menaikinya.

"Lo yang buat janjinya! tapi gue gak bakal ikut kalo lo nyuruh gue naik motor itu. Gue yakin lo bakal ngebut dan gue gak mau hidup gue berakhir hanya karena motor elo dan pengemudi yang sok keren ini. Gue masih pengen hidup dengan tentram. Sorry gue gak ikut." Dengan penekanan kata sorry aku berbalik meninggalkannya.

Dan aku merasakan tasku ditarik olehnya, membuatku terpaksa mengikutinya berbalik kembali dihadapan motornya. Dan ia dengan tenang berdiri menunjuk motornya sambil tetap melihatku.

"Naik, dan gak ada penolakan."

"Gue gak mau."

"Yaudah gue tinggalin lo disini, dan gue berhenti untuk ngelaksanain perjanjian itu dan ngebuat lo dijauhin Rafi. Gue bakal ngomong kalo lo tuh penguntit yang suka diem-diem sembunyi di balik rak sambil senyum-senyum gak jelas. Yang bahkan gue jijik liat kelakuan cewek kayak lo."

"Maksud lo gue jijik gitu? Yaudah berhenti aja. Apa susahnya coba!" merasa terpancing oleh kata-katanya aku dengan cepat berbalik lalu berhenti saat ia berkata sesuatu.

"Asalkan lo ikut gue sekarang, lo bakal gue bantuin dalam misi pertama dapetin dia." Teriaknya membuatku menoleh padanya, aku tersenyum mendengarnya dan kembali menuju arahnya.

Masih menggunakan seragam sekolah ia memaksaku menaikinya, dan

"Oke, nyonya. Nikmati perjalanan saat ini dan kau akan melihat bahwa aku benar-benar layak untuk dikagumi wanita." Katanya percaya diri, dan aku membalasnya dengan dengusan.

Ia menghidupkan motornya dan kami mulai terbawa oleh kecepatan motornya, memaksaku kedua tanganku memeluknya dari belakang karena taku untuk terjatuh. Saat ia menyadarinya tanganku, ia langsung menambah kecepatanya dan aku hanya bisa memejamkan mata tak kuat untuk melihat selanjutnya yang terjadi.

Dan kita berhenti tepat di bukit, entahlah apa ini bisa disebut tempat itu. Yang pasti di pagar ini kami bisa melihat pemandangan lalu lintas kota dan pemukiman rumah dari atas sini. Melihat awan-awan itu yang dengan damai melewati jalur langit, seakan-akan membuatku juga terdiam, tenang. Begitu juga semilir angin yang membuat rambut ku menari serasa, aku bisa terbang jika melompat dari sini.

Aku turun dari motornya lalu mendekati pagar itu, memegangnya dan menikmati semua yang aku lihat dan rasakan. Rasanya angin menyelimutiku membuatku ingin menjadi seperti dirinya yang terus terbang tanpa berhenti, tanpa merasa jenuh dengan hidup ini. Raka datang dan diam disampingku ikut menikmati hal ini, ia tersenyum ke langit, dan hamparan kota yang kami lihat lalu ke arahku.

"Ini tempat pelarian gue. Gue selalu kesini kalo gue pengen nenangin diri atau setidaknya bisa ngebuat gue kembali mengingatkan bahwa gue harus menjalani hidup gue semestinya." Terangnya masih melihat ke depan.

"Keluarga gue mungkin bisa disebut hidup di dalam kemewahan termasuk gue juga. Tapi itu cuman keliatan dari luar. Keluarga gue bener-bener jauh dari namanya sebuah 'keluarga' kalo diliat dari dalem tanpa memandang sebuah kekayaan. Ayah gue kepala di perusahaan besar-persetan dengan perusahaan besar itu cuman gudang para pekerja nyari uang doang- yang gila kerja, demi pekerjaan nya ia selalu lembur namun baru-baru ini gue, gue baru nemu bahwa dia punya simpanan yaitu sekretarisnya sendiri."

Aku tak sadar bahwa beberapa menit lalu ia yang memiliki tingkah laku yang menyebalkan berubah seketika menjadi lelaki yang tak aku kenali. Tak sama dengan yang ia lakukan beberapa saat lalu, yang memaksa dan menarikku bersamanya kesini. Ia seperti anak kecil yang sedang mengadu pada temannya akan masalahnya.

Ia terdiam agak lama, seperti menunggu sesuatu. Ia menengokkan kepalanya padaku berpandangan denganku, lalu kembali melihat ke depan.

"Mama gue gila uang, dia selalu pergi ke arisan-arisan yang isinya cuman bualan semua. Berbohong kesana-kemari bahwa ia bangga pada dirinya. Menutup sifat aslinya atau mungkin sudah membuangnya. Dulu, ia adalah satu-satunya cewek yang sayang gue dan selalu ada buat gue. Gue juga cinta akan dirinya yang apa adanya yang terus mempercayai gue. Tapi, ia mulai berubah saat ia sering bertengkar berkali-kali dengan ayah. Dia terus menerus menghabiskan uang dengan menghambur-hamburkannya, berlibur kemana-mana bersama teman arisannya mencoba melarikan diri dari kehidupannya di rumah. Namun di balik itu, saat gue ngelewat kamarnya, ia nangis disana. Tapi namanya juga nangis mau disembunyiin gimana pun juga tetep orang bakal nyadar kalo dia lagi nangis. Dan gue cuman bisa dengerin tangisannya di balik pintu lalu menjauh menuju kamar gue sendiri."

Lelaki itu berbeda, sangat berbeda dari yang aku temui saat ini. Satu air mata jatuh ke pipinya lalu tiap ia menutup matanya, air mata itu kembali keluar.Ia menghapus air mata itu dengan kasar, ia tak dapat menahannya lagi dan mulai menangis, aku tanpa sadar memeluknya mencoba memberi tahu padanya bahwa aku disini mendengarkan semua yang ia katakan. Ia semakin menangis saat aku memeluknya.

"Apa lo mau nemenin gue disini. Gue butuh seseorang yang dapet menemani gue sekarang. Gue mohon lo disini sebentar. Tetap diam kayak gini."

Suaranya seakan hampa tak bertenaga, memintaku terus disini membuatku hanya bisa mengangguk menurutinya. Dan diantara keheningan ini hanya terdengar suara tangisannya yang rapuh.

Memory Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang