Malu

68 5 0
                                    

“Gue suka sama lo.”

Semua hening dan hanya terdengar suara musik latar di kafe ini. Aku berhenti bernafas menyadari yang telah aku lakukan, ia terkejut-benar-benar terkejut- dan kami saling diam. Aku menghentikan kontak mataku dan melihat ke arah lain tepat ke arah Raka dan ia menepuk wajahnya.

Apa yang telah aku lakukan?

Tidak lama menunggu reaksinya, tangannya langsung melepaskan tanganku dan mengatakan hal yang tak kuinginkan. Entah apa yang membuaku seperti orang bodoh yang berpikiran pendek melakukan hal ini. Dan lihatlah apa yang terjadi mengkhawatirkan.

“Elu siapa? Gue bahkan gak kenal lo. Dan tiba-tiba aja lo bilang suka sama gue. Darimana lo bisa berpikiran kayak gitu?”

Ya, benar sekali. Darimana aku mendapatkan perasaan ini, merasa senang saat melihatnya. Memandangnya dari jauh yang membawakan rasa obsesi yang aku inginkan. Apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Mungkinkah aku hanya dibohongi oleh rasa kagum semata? Rasa penasaran yang salah diartikan oleh hatiku.

Benar sekali, semua berasal dari hati tak pernah masuk akal. Bahkan, otakku mungkin sudah mengkhianati karena aku telah memilih hatiku yang bodoh ini sejak saat itu.

“Gue tau bahwa perasaan ‘itu’ gak gue buat, tapi setidaknya lo tau lah. Jaga perasaan lo yang sebenarnya jangan peduliin hal yang belum tentu lo yakin itu bener. Bahkan mungkin lo juga harus tau meski gue tau kalo lo suka sama gue, bukan berarti gue harus tanggung jawab tentang ‘itu’, dan gue juga gak punya hal yang ‘sama’ dengan lo. Jadi mending lo cari cowok yang punya ‘itu’ daripada nyari yang bahkan seseorang yang gak pernah ngomong sama lo.”

Raut wajahnya yang tegas mengatakan itu semua membuat pikiranku kacau, otakku berhenti untuk berfikir. Mulutku kaku bahkan semua seperti tak ingin bergerak. Selama ini apa yang aku lakukan, dimana menghasilkan hal ini. Aku bodoh sekali, ditambah penolakkan secara langsung darinya membuat hatiku semakin kalut akan perasaan yang tak berasalan ini.

“Bagaimana kalo kita saling kenal dulu? Mungkin lo bakal punya rasa yang sama kayak gue.”

Dan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut yang menyebalkan ini, setelahnya malah ingin berjungkir balik atau balik badan-lari-pulang ke rumah-masuk kamar-terus menyumpal wajah dengan bantal setidaknya wajahku ingin aku sembunyikan atau buang saja sejauh mungkin hingga aku tak ingin merasakan perasaan malu ini. Mengapa mulutku mengkhianatiku.

“Maksud lo? Eh sorry, gue udah punya pacar. Dan mungkin lo dikategorikan sebagai level amatir dibandingkan sama gue yang lo tau lah gue gak mungkin milih lo daripada pacar gue.”

Kemudian tangannya memasukkan ponsel yang tadi mengeluarkan suara tanpa melihat siapa yang memberi sinyal kepadanya untuk melihat ponsel itu. Lalu dia agak menjauh selangkah, melihatku dari kepala sampai kakiku lalu mulai berkata hal apa yang ia temukan setelah melihat diriku.

“Lihat diri lo sendiri lah setidaknya, gue tau kalo cewe dipoles dikit bakal cakep, tapi lo dengan wajah natural ini dipoles gak bakal ngaruh kayaknya. Jadi, gue gak akan tertarik sama cewek kayak lo di lain waktu. Mungkin suatu saat nanti lo bakal berubah, tapi tetep aja gue gak bakal milih lo. Cowok gila mana yang mau ngeduain ceweknya yang baru aja jadian. Atau mungkin lo mau gue kenalin sama cowok tipe lo yang kayak liat-langsung-suka? Mungkin ada, tapi itu mungkin lebih kearah hal lain yang bakal dia incar ke elo.”

“Maksud lo?” tanpa aku mengerti bahwa ia mengarahkanku pada pembicaraan yang menyebalkan yang membuatku seketika langsung berubah pikiran namun tidak dengan hatiku. Dia bodoh memang tapi aku tak ingin berpisah dengannya. Mungkin kalo dia mati gue gak bakal sebodoh ini.

“Ya lo tau lah, apa yang disukai cowok kalo gak sama rasa bakal kejadian hal aneh lah. Gue nasehatin aja ya, lo gak boleh agresif kayak gini. Gak boleh liat-langsung-suka, gak boleh bodoh, ceplas-ceplos diomongin. Lo itu bisa aja masuk ke mulut harimau bermuka domba. Hati-hati aja lah.”

Dan sejak kapan ini menjadi sebuah ceramah yang mengingatkanku untuk menjaga diriku. Dimana arah jalan pembicaraan ini menarikku? Dia menepuk pundakku lalu pergi ke tempat sahabatnya yang aku yakin ternganga akan semua yang terjadi ini. Duh, Raka hal apa yg telah aku perbuat tadi?

Wajahku benar-benar terasa panas, sudah pasti terlihat merah seperti tomat. Maluuu, bukan hanya perasaan itu saja yang aku rasakan saat ini tapi rasa marah dan ingin pergi menjauh. Karena itu, aku langsung pergi keluar diikuti banyak pasang mata yang menonton. Berlari terus berlari, dan air mataku mulai keluar menyusuri kedua pipi ini.

Ingin rasanya berteriak, yang malah terlihat layaknya orang gila jika itu terjadi. Tapi, bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini? Kakiku terus berlari namun tali sepatu yang tak tahu malu itu malah melepas ikatannya dan akhirnya terinjak kaki kananku tanpa ku ketahui, membuatku jatuh tepat ke atas aspal trotoar.

Aku terjatuh dan itu malah membuatku ingin terus menangis. Apa lagi yang bisa kulakukan selain menangis? Bukan berarti hanya karena aku adalah wanita karena itu aku harus menangis, bukan berarti aku malu, bukan berarti aku bodoh. Bukan, bukan itu semua. Tapi tetap saja hatiku mengiyakan berbagai alasan itu.

“Dasar bodoh!”

Aku membalikkan tubuhku dan melihat Raka yang sudah berlari tergopoh-gopoh. Wajahnya terlihat frustasi,  suara nafasnya sudah tidak teratur dan ia mulai menyesuaikan nafasnya.

“Lo bodoh! Bener-bener bodoh! Gimana sih?! Kenapa lo ga dengerin yang gue omongin sebelumnya? Seharusnya gak gini. Harusnya lancar tadi. Kalo lo tadi gak git..”

Di sela-sela perkataannya, tangisku mulai kembali ada. Harusnya tak seperti itu, benar tidak seperti ini. Aku menunduk dan menutup wajahku di depannya. Sudah dua kali aku kembali menangis dihadapannya. Aku mendengarkan ia mulai menggumam namun tak aku mengerti. Lalu ia menghembuskan nafasnya dan mulai berkata.

“Yaudah, lo udah nangisnya. Udah jelek-nangis lagi. Nanti gue pikirin cara lain.”
Ia menarik tanganku dan pergi ke tempat parkiran motornya. Di sela-sela perjalanan kami hanya terdiam dan ia mulai menggenggam telapak tanganku. Hal itu menghentikan perasaan ingin menangisku.

“Raka?” suaraku terasa agak serak. Namun ia terus berjalan tanpa menghentikan langkah kami.

“Raka?” tanyaku kedua kalinya, dan ia berhenti namun terus membelakangiku.

“Ini biar lo berhenti nangis. Gue gak suka liat lo nangis. Ngeganggu penglihatan gue. Jadi jangan nangis lagi di depan gue.” Jawabnya dan ia melanjutkan langkahnya otomatis aku tertarik dan mengikuti langkahnya.

Aku menoleh ke samping, dan melihat lelaki yang membuatku menangis tadi sedang berhadapan dengan wanita yang dulu dipeluknya.Tanpa aku sadari aku berhenti berjalan dan diam melihat mereka.Tangan seseorang datang menghalangi mataku menutupi semua yang aku lihat, wajahku dipalingkan kembali dan langsung berhadapan dengannya.

“Jangan liat, lo bakal ngerasa sakit. Gue bakal buat lo yang ngeganti cewe itu. Gue janji.”

Deg.

Aku diam namun anehnya yang dia katakan membuat hatiku terasa berbeda.

Memory Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang