4. Sayap Pelindungmu

7K 829 18
                                    

Prilly Adriana

"Gue udah di parkiran, Prill ..." suara Ali di ujung telepon membuatku bergegas mengemasi barang di meja kantin RS. Nesa melirikku penuh tanya, memberi isyarat dengan alis ada apa?

"Ali udah nunggu gue di parkiran. Duluan ya, Nes. Gak enak kalau kelamaan sama dia." pamitku.

"Hati-hati, Prill. Titip salam buat calon bapaknya ponakan gue!" ledeknya membuatku melotot. Nesa malah terkikik. Dasar bidan error!

Setengah berlari aku menuju parkiran rumah sakit. Tadi pagi sebelum pergi usai mengantarku Ali memang sempat meminta nomer hpku katanya biar gambang ngabarin kalau motorku selesai diperbaiki anak buahnya. Sikapnya masih belagak dingin, meski tetap perhatian seperti sekarang. Padahal saat dia mengabari motorku selesai diperbaiki aku sudah bilang akan mengambil sendiri ke mako brimob, tapi Ali malah ngeyel menjemputku.

"Pacar lo ga komplen liat ceweknya gue bonceng begini?" tanya Ali di perjalanan.

Aku mendengus. "Kata lo ini bagian dari pelayanan polisi ke masyarakat? So, harusnya kan ga ada yang komplen karena emang bagian tugas lo. Lagian pacar gue lagi internship di Wakatobi."

"Berasa ngadepin kepala suku Aborigin gue ..." ucap Ali tiba-tiba. Keningku mengernyit walau sudah pasti polisi merangkap kang somay ini takkan melihatnya.

"Maksud lo, Kang Somay?"

"Lo kelebihan akal malah kayak bumerang karna lo ngebalikin kata-kata gue tadi pagi, Bungkus Nugget!" geramnya yang justru membuatku tersenyum. Meski masih belagak jadi arca batu, paling tidak Ali tetap mengingat panggilannya untukku.

"Lo gurunya, Kang Somay! Eh Aprillya apa kabar ya, Li?"

"Ngapain nanya anak orang? Mending lo nanyain gimana gue, Prill." dengusnya.

"Ya masa gue nanya kabar lo yang jelas-jelas berdiri gagah depan mata gue ini?"

"Badan gue yang berdiri gagah," ujar Ali sambil memalingkan wajahnya ke hadapanku saat kami terhenti sejenak di lampu merah. "Tapi hati gue luluh lantak. But, it's okay, gue yang mencintai lo, jadi resiko tanggung sendiri." lanjutnya lirih.

"Maafin gue, Li ..." sesalku.

"Tenang aja, gue cukup cerdas, Prill, untuk mengatasi patah hati tanpa bunuh diri. Btw, itu cowok lo kalau ga sanggup lagi ngelanjutin kredit pacaran sampe lunas ke pernikahan, kabarin aja gue siap take over." canda Ali sambil tersenyum meski terkesan dipaksakan.

"Lo pikir gue motor bebek kreditan main take over seenak jidat?"

"Yakali gitu ga sanggup lagi mendampingi lo hampir dua kali pemilu ..."

Tepat ketika aku akan menimpali handphone Ali justru berdering. Setelah lampu berganti hijau, Ali langsung menepikan motornya ke samping jalan. Berbincang sebentar dengan nada cemas terdengar jelas.

"Li, are you okay?"

"Prill, kita puter balik bentar ke rumah gue ya? Nanti gue jelasin di sana."

Aku hanya mengangguk. Tak ada lagi perbincangan karena Ali melajukan motor besarnya dengan kecepatan tinggi. Sekilas aku menangkap aura gusar pada diri Ali.

***

Kami tiba di sebuah rumah bergaya joglo dengan pekarangan cukup luas. Ada beberapa tanaman pisang kipas di sini, juga bunga mawar merah dan kembang sepatu. Tanahnya dilapisi rumput gajah. Asri sekali. Ali menepikan motornya di sebuah kanopi yang diatapi tanaman rambat berbunga. Di sudut dekat teras pohon kamboja kuning menggugurkan bunga.

"Masuk, Prill ..." tawar Ali sembari membuka pintu berwarna cokelat tua sepertinya dari kayu jati.

Tiba di dalam, aku serasa disambut suasana tempo dulu. Lukisan penari Bali terpampang di dinding ruang tamu. Makin ke dalam, beberapa hiasan bunga kering mengisi lemari panjang yang merangkap nakas.

Behind The GunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang