16. Kita Kapan?

5.6K 842 100
                                    

Samudera Ali Syarief

"Maleo anak kandung AIPDA Antonius yang meninggal karena pecahnya pembuluh darah saat Pasola dulu ..." suara Ayah melirih. Aku dan ibu saling pandang dengan mata nanar.

"Tapi gak seharusnya dia berbuat sekeji ini. Tragedi itu kan sifatnya gak sengaja, kita ga tau dia kelelahan karna tetap ikut Pasola. Lagipula secara adat kematian karna Pasola bukan semestinya berujung dendam." Ayah kembali buka suara, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

Aku tak berani menimpali, begitu juga dengan ibu yang masih bertepekur di kursi ruang makan tempat kami kini berkumpul. Hening masih menguasai kami berdua sejak kepulangan ayah dari Surabaya untuk ikut mengusut motif pembunuhan Mbak Nay yang sebenarnya. Beruntung Prilly tak ada di sini, dia sedang menemui papanya untuk ziarah bersama ke makam almarhumah mamanya. Aku tak bisa menemani, tetapi paling tidak masalah keluargaku tak harus menambah beban pikirannya.

"Nay juga salah, Ayah heran kenapa bisa-bisanya dia kebablasan sampai dihamili Endro? Sudah tahu Maleo berbeda, apa gak bodoh namanya kalau tetap dipertahankan!"

"Kalau Mbak Nay, Endro, dan Maleo salah menurut Ayah, kita sebagai orangtuanya jauh lebih bersalah, Yah!" Ibu berujar dengan mata berkaca. Nada bicaranya yang biasa lembut sekarang neninggi. Seumur-umur baru kali ini aku menyaksikan ibu menantang ayah.

"Salah gimana? Kita ngedidik anak-anak dengan aturan dan disiplin!" Ayah menggarang, matanya menajam menciutkan nyaliku untuk melerai keduanya.

"Aturan yang menjadi jurang pemisah anak dan orangtuanya, juga disiplin yang akhirnya membangun dinding pembatas orangtua dan anaknya. Ibu tahu Ayah adalah pemimpin di kantor sekaligus pemimpin bagi keluarga. Tapi tetap saja perlakuan kita ke anak-anak dan ke anak buah seharusnya berbeda, Yah. Abang Ali prajurit saat mengenakan seragamnya tetapi di balik itu ia tetap putra kita yang perlu direngkuh. Sama dengan Mbak Nay ..." Kalimat Ibu berhasil membungkam Ayah sepenuhnya. Kuusap bahu Ibu pelan ketika kusadari bahu itu mulai naik turun menahan isak yang siap meledak.

"Ayah salah, Bu ..."

Ibu menggeleng, lalu mendekati ayah. Tangannya terulur menyentuh pundak kukuh perwira tinggi yang tertunduk penuh sesal itu. Ada keharuan yang menyeruak di batinku menyaksikan sikap keduanya. Ibu yang bicara lantang di hadapan ayah untuk pertama kalinya dan ayah yang pada akhirnya belajar menyadari kesalahannya. Bukankah aparat penegak hukum seperti kami juga manusia yang pasti memiliki kesalahan? Hanya tergantung bagaimana keberanian untuk memperbaikinya.

"Ibu juga salah, Yah. Karena sebagai pendamping Ayah, Ibu harusnya ikut mengingatkan ketika salah satu atau kita berdua mulai terseok pada kekeliruan. Bukankah rumah tangga semestinya tidak hanya lebih berkuasa salah satu lalu menciutkan yang pasangannya? Melainkan berdampingan untuk saling menuntun ke arah kebaikan." tutur Ibu bijak. Mendadak aku ingin Prilly berada di sini dan mendengar kalimat ibu tadi. Ah ... rasanya aku ingin segera punya rumah tangga sendiri sekarang.

"Abang rasa Mbak Nay pun sudah bahagia di sana sekarang. Urusan Maleo biar kepolisian setempat yang menangani, toh hukuman dua puluh tahun penjara dan dicabut hak praktik sudah menanti." timpalku dibalas anggukan oleh ayah.

"Tapi soal Endro, biar pihak pengadilan militer yang memutuskan. Ayah harap kamu bisa melihat dari sudut pandang lain, Li, bukan hanya sisi kemanusiaan semata. Keadilan terlalu dangkal jika kita hanya memandang kebaikan seseorang di permukaan. Apa pun akhirnya nanti, Endro tetap akan menghadapi pengadilannya sendiri di alam kubur." Bicara Ayah diplomatis sekali.

"Maksud, Ayah?"

"Endro menikahi istrinya dengan status janda dan ini bukan anak pertama mereka, begitu pula janin yang di kandung Mbak Nay. Perempuan yang Endro nikahi pernah kehilangan kesuciannya sebelum pernikahan mereka, menghindari kerumitan pengajuan, Endro akhirnya meminta lelaki lain menikahi hanya selama dua minggu sebelum kemudian diceraikan. Keperawanan harga mutlak dalam aturan tentara meski sebenarnya Endro sendiri sebagai pelakunya!"

Behind The GunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang