21. Humanisme

5.6K 762 112
                                    

Samudera Ali Syarief

Selesai mendengar penjelasan para korban, kulihat Prilly berjalan keluar UGD dan melepaskan stetoskop dari telinga. Lekas kukejar ia yang melangkah menuju halaman puskesmas.

"Prill, Prilly!" teriakku berhasil menghentikan langkahnya. Ia berpaling, kuhampiri dokter mungil yang enam bulan menyita energi batin dan fisikku.

"Bisa kita bicara?" tanyaku ketika menyadari tubuhnya mematung tanpa kata.

"Ndan!"

"Dokter!"

Dua suara membuat kami saling berpaling sebentar. Di belakang Prilly kulihat seorang perempuan sedang mengatur napas sehabis lari terpogoh, sedangkan mata Prilly seperti sedang memandang seseorang dengan isyarat ke arah belakangku.

"Ndan, keluarga korban ingin bertemu komandan."

"Dokter, kita harus ke Posyandu di Muara Hatip sekarang!" ucap perempuan yang tadi berada di belakang Prilly.

Aku mendesah lemah, memandang Prilly dengan tatapan tak enak. Baru saja aku ingin menyampaikan penjelasan, tetapi tugasku lebih dulu menginterupsi kami.

"Maaf, Prill ..."

"Maaf, Li, eh ..." ucap kami bersamaan tanpa sengaja.

"Aku harus pergi, Li." pamit Prilly.

Aku mengangguk lemah. "Aku nemuin keluarga korban dulu, Prill." sahutku kikuk.

Kami berpisah di halaman puskesmas. Sekilas kulihat Prilly menaiki motor dibonceng teman perempuannya yang tadi membantu membersihkan luka korban kecelakaan di UGD. Kusejajarkan langkah dengan Bripda Dehen menuju keluarga korban yang sudah menunggu.

Sejujurnya aku antara menyimak dan tidak apa yang disampaikan oleh masing-masing keluarga korban ini. Tetapi intinya mereka ingin masalah diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa melibatkan pihak kepolisian. Pikiranku sedang tak sejalan dengan kewajiban, biarlah Dehen saja yang menyelesaikan.

***

"Ndan, mau ikut ke Balai Malaris gak?" tanya Dehen ketika aku hendak melangkah menuju parkiran motor di polsek.

"Ngapain?" Aku sedang tak terlalu antusias setelah kegagalan bicara dengan Prilly di puskesmas tadi.

"Ada acara Aruh Ganal malam ini, barang kali komandan Ali mau melihat,"

"Kamu ke sana?"

"Iya, Ndan, sekalian bantu-bantu Damang Uyan mempersiapkan janur buat hiasan dan upacara." terang lelaki asli Dayak Meratus ini.

"Ya sudah nanti saya susul ke sana. Sekarang saya mau pulang dulu, bersih-bersih badan. Gak nyaman kena darah pas ngangkat korban tadi." putusku sambil melajukan motor trail yang dipinjamkan kapolres teman ayah ini menuju rumah dinas.

Memasuki kamar, mataku bertumbuk pada foto Prilly saat ia akan diambil sumpah dulu. Di belakang frame foto itu tertuang sumpah setiaku untuknya. Bila kalian bertanya adakah yang berusaha mendekatiku selama enam bulan terakhir, jawabannya ada. Bahkan ada yang didekatkan oleh Bara merupakan dokter sekaligus polisi karena ikut pendidikan melalui jalur sumber sarjana. Heran, dia sendiri jomblo tapi begitu peduli dengan urusan percintaanku.

Kuletakkan ponsel di atas ranjang usai melepas seragam dan segala atributnya. Sinyal sangat tidak stabil di sini membuatku hanya sesekali bisa menghubungi ayah atau ibu. Kalau ingin akses internet, aku terpaksa harus ke desa Tanuhi di depan pemandian air panas. Karena di sanalah posisi sinyal yang cukup stabil.

Ponsel itu masih sama, tidak ada yang berubah dari wallpaper hingga sandi kuncinya. Hanya aku dan Prilly yang tahu. Biarlah begitu agar aku tetap merasa masih memilikinya meski aku tidak bisa memastikan seperti apa perasaan Prilly padaku kini. Kuhela napas panjang sebelum kemudian menepuk paha dan beranjak menuju kamar mandi.

Behind The GunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang