Ini di luar rencana. Anak anggota DPRD yang kami intai beberapa waktu belakangan justru sedang mengonsumsi narkoba di rumah dinas ayahnya. Rino geram bukan main atas ulahnya. Tak ditangkap segera kami khawatir bukti lenyap. Tapi ditangkap sekarang pun alamat membuat gaduh terlebih si anggota DPRD sedang tak berada di rumah.
"Ndan, yakin mau penyergapan malam ini?" suara Rino cemas sekali.
Aku mengangguk. "Malam ini sebagai santapan lapas atau nanti mendekam di rehabilitasi? Just choose, Bripda Rino."
Sengaja kuajukan option begitu lantaran sore tadi Rino bersama Matheo menemukan bukti anak ini juga menjual narkoba ke beberapa temannya. Lokasi belakang musem tua sebagai TKP. Bahkan demi bukti Matheo turut menyamar sebagai pemesan. Sedangkan penyamaranku sebagai tukang siomay adalah untuk mengumpulkan bukti ia mengonsumsi di sekolah tanpa larangan. Barangkali faktor anak pejabat menjadi asuransinya.
"Ndan, di dalam kacau ..." laporan Bripka Matheo mengisi handsfree di telingaku.
Bergegas kumasuki rumah dinas. Rino dan beberapa polisi lain berjaga di sudut halaman. Sial! Kami kecolongan. Anak kupret itu justru sedang menyandera leher ayahnya sebagai perlindungan. Aku tak bisa memastikan kapan anggota DPRD itu telah tiba di rumah karena sejak tadi fokus dengan lalu lintas komunikasi dengan anggota lain.
"Gue gak mau ditanggkep! Gak!" teriaknya histeris masih menodongkan pistol tepat di leher sang ayah.
Ayahnya tak lagi bisa bicara, kuperkirakan napasnya mulai tersengal dengan deru lambat hela demi hela.
"Ayah! Ayah bicara dengan mereka, katakan ayah akan menuntut mereka jika menangkapku ..." racaunya dengan posisi tubuh sempoyongan.
Kuberi kode pada Matheo ntuk mengunci tubuh anak kupret itu dari belakang sementara aku akan menyelamatkan ayahnya. Terlepas lelaki tua ini akan mempersulit proses hukum atau tidak nantinya, tetapi yang terpenting kami berusaha meminimalisir korban dalam penyergapan. Matheo mengagguk kemudian mengendap ke belakang anak itu sebelum akhirnya menikam pundaknya dengan pegangan pistol hingga terjerembab.
"Matheo eksekusi!" perintahku sambil menarik sang ayah ke belakangku.
Belum sempat kami berlari keluar, teriakan Matheo justru menghentikan langkahku. Tepat ketika aku berbalik sebuah timah panas kurasakan menembus bahu kananku. Perih dengan darah mengucur. Dengan sisa tenaga kutarik paksa anggota DPRD yang masih meraung melihat anaknya diseret ke mobil tahanan itu hingga perlahan kurasakan kesadaranku mulai menurun.
***
Kondisiku sebenarnya tak terlalu parah, setelah operasi pengangkatan sisa proyektil di bahu kanan kemarin malam harusnya aku hanya perlu diobservasi sebentar selanjutnya bisa rawat jalan. Tapi Bara memang luar biasa urusan akal bulus, dia sebelas dua belas dengan kancil sepertinya. Polisi hitz versi instagram itu malah melapor ke kantor aku tertembak di titik vital sehingga harus istirahat total di rumah sakit.
Setelah kudesak dia baru mengaku tujuan sebenarnya. Bara bilang agar aku bisa lebih sering bertemu dengan Prilly. Oh Tuhan ... ampuni tindakan polisi odong ini jika termasuk korupsi libur tapi tolong tambahkan gaji kami kalau kelakuannya justru bisa membuatku memenuhi separuh kewajiban agama alias berjodoh dengan Prilly.
Kurasa rencana Bara cukup berhasil. Lihatlah, dokter cantik itu sedang mengecek tetes infus per detikku. Rambut panjang berombaknya dibiarkan tergerai. Cekatan sekali ia menata obat yang tadi diserahkan seorang perawat. Ia bukan sedang visit, tapi memang khusus menengokku. Wajar, karena ini bukan bagian stase Prilly.
"Minum obat dulu ya, Li, sekalian biar lukanya cepet kering."
Aku menggeleng. Aku benci obat sejak kecil, bahkan mungkin bisa dibilang trauma setelah tak sengaja menjilat puyer diujung sendok yang kukira bubuk susu strawberry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Gun
FanficKamu berhak memilih tetapi bukan menentukan. *** Penyelidikan kematian mahasiswi kedokteran dengan kondisi abortus dan barang bukti dua linting ganja menuntun Samudera Ali Syarief, polisi berpangkat Inspektur Satu ini bertemu dengan seorang dokter...