Samudera Ali Syarief
Dibalut sinar redup dan mata sayunya menahan hasrat aku berusaha melepas gundah tentang Prilly sejenak. Aku tak mengontaknya sampai hari ini, tetapi justru sedang berkontak dengan orang lain. Ah ... bukan saja orang lain, perempuan lain lebih tepatnya. Dia yang rubuh di pelukku sekarang. Pemilik bibir merah merona dengan bulu mata dan alis yang sepenuhnya fiktif belaka.
"Do you love me, Honey?" suara serak menahan gairah itu mulai meremangkan rambut halus di tengkukku. Terang saja aku bergidik lantaran ia meniup-niupkan udara di sana.
Aku tersenyum, tak menjawab secara verbal hanya merapatkan tubuh dengan mengeratkan rengkuh di pinggangnya yang menggeliat seperti penari itu. Aku tahu betul ia sedang berusaha memancing gairahku. Tangannya mulai bergerilya di dada bidangku hingga kepalaku dan kepalanya hampir tak berjarak ketika aku menunduk.
"It's hurt, Honey ..." tegurku ketika tangan perempuan ini mulai mengusap selangkaku.
Hi! I'm normal, disentung begitu jelas saja bisa mengaktifkan sensor pistol masa depanku. Salah sasaran tembak bisa panjang perkaranya, apalagi jika tanpa "peredam" jutaan peluru yang melesat itu bisa mencipta satu jiwa baru bahkan mungkin lebih. No, I don't. Aku tak setuju jika sampai harus sejauh itu. Enak saja bibitku ditanam pada sembarang tanah.
Tepat sebelum ia semakin melenguh seperti kerbau di padang pasir usai bibir kami saling memeluk suara pintu diketuk lebih dulu menghentikan aksinya yang mulai menekan leherku agar tautan katup kemerahan ini kian dalam. Kualihkan perhatiannya agar mau membuka pintu kamar hotel yang kami tempati sekarang.
"Bukalah, aku ke kamar mandi sebentar." bujukku.
"Mungkin hanya petugas hotel ..." elaknya seolah tak rela melepas tubuhku. Aku menggeleng seraya mengulum senyum.
"Bukalah, aku perlu paket itu sayang sebelum kita memulainya ..." bisikku berusaha semesra mungkin. Ia mengalah, melangkah menuju pintu. Aku bergegas ke balik pintu kamar mandi.
"Ke mana saja kau, Cokro? Ini sudah lebih dari setengah jam!" hardiknya terdengar hingga kamar mandi. Nada suaranya meninggi, berbeda saat berduaan denganku tadi.
"Sttt ... aku merasa hari ini akan terjadi sesuatu, makanya aku mencari jalan lain mengendap-endap ke sini." ucap lelaki itu sayup-sayup.
"Mana barang yang kupesan?"
Prang ....
Aku memejamkan mata saat pistol yang sebelumnya kuselipkan di pinggang tak sengaja menyentuh gagang pintu tepat ketika kuangkat. Pasti dia akan curiga.
"Siapa di dalam?" sentak lelaki bernama Cokro itu dengan suara langkah samar seakan mendekat ke arah kamar mandi.
"Bukan siapa-siapa, Cokro. Sudahlah serahkan saja paket yang kupesan sekarang!" Perempuan itu mencegat tubuh kurus Cokro, aku melihatnya dari celah pintu yang memang tak tertutup rapat.
"Kau jangan bodoh! Sekarang banyak polisi berkeliaran." umpat lelaki itu. "Keluar kau!"
Aku mengalah, keluar dari kamar mandi.
"Kau polisi?" selidiknya. Belum sempat aku menjawab perempuan ini lebih dulu menyela.
"Dia orang sipil, Cokro. Sudahlah, mana barang yang kupesan tadi?"
"Kuserahkan dengan harga 3x lipat dari sebelumnya. Deal?"
Lelaki ini hendak bermain-main denganku rupa. Aku menghela napas agar tak bertindak gegabah sekarang. Satu hal yang diajarkan ayahku, secerdas apa pun akademik kalian, kecerdasan emosi itu lebih penting selain memang ditunjang spritual. Karena saat kau dikuasai emosi, IQ range superior pun bisa bertekuk lutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Gun
FanfictionKamu berhak memilih tetapi bukan menentukan. *** Penyelidikan kematian mahasiswi kedokteran dengan kondisi abortus dan barang bukti dua linting ganja menuntun Samudera Ali Syarief, polisi berpangkat Inspektur Satu ini bertemu dengan seorang dokter...