Prilly Adriana
Bebas tugas itu kemerdekaan yang nyata. Berasa dicabut paku dari kepala. Eh ... ntar kalau gitu aku kunti dong? Ralat! Berasa minum teh di pinggir pantai bareng Pevita dan teman-temannya terus naik banana boat. Astaga ... Ngaco! Harap maklum, anak kedokteran kalau abis lepas dari kurungan ya kayak gini error dikit.
Pulang dari RS aku langsung melajukan motor angsa tanpa gear alias matic ini ke salah satu kawasan sekolah. Mau nyari siomay biar pulang ke rumah bisa ga langsung masak. I need sleep more than more ... Capek cuy tidur ayam mulu di RS. Tapi masih bersyukur sih tidur sebagai dokter bukan pasien.
"Bang, siomay satu cabenya banyakin ya." pesanku.
Gerobak siomay depan SMA ini ramai bener. Nasib deh ah bebas dinas barengan sama jam istirahat anak sekolahan. Daripada nganggur kupilih memejamkan mata sejenak bertumpu di stir motor. Anak kedokteran mah rata-rata emang gini. Ada waktu lowong nyempetin tidur. Makanya pada banyak yang jomblo atau paling ga jadian sama temen angkatan sendiri. Lha wong gaulnya sama dia lagi dia lagi.
"Mbak, ini pesanananya ..."
"Lo?!" pekikku dan si tukang siomay itu bersamaan.
Kukucek mataku berkali-kali, takut cuma halusinasi. Bahkan pipiku ikut kutepuk. Au! Sakit. Berarti beneran dia.
"Astaga, lo dipecat dari kesatuan jadi ..." Belum sempat kulanjutkan, mulutku lebih dulu dibekapnya.
Aku meronta. Dasar polisi gila! Bisa mati muda aku begini.
"Janji dulu lo diem, baru gue lepas!" ancamnya. Aku mengangguk. Menghirup udara banyak-banyak. Napasku tersengal. Oksigen berkurang drastis di dalam darah rasanya.
"KDRT!" sungutku padanya.
"Lo bawel. Kalau ga dibekap pasti nyerocos mulu. Abisin tuh siomay ntar gue jelasin." perintahnya otoriter dan anehnya aku justru menurut.
***
"Astaga lo nerima suap ya, Li, bisa punya apartemen kayak begini?" decakku saat pintu terbuka.
Ditoyornya kepalaku sembarangan. Polisi gelo emang dia. Eh emang masih jadi polisi? Lha bukannya tadi jualan siomay? Memang setelah menandaskan seporsi siomay tadi Ali langsung mengajakku pergi. Menjauh dari sekolah tempat gerobaknya mangkal dan malah membawaku ke apartemennya.
"Bener-bener mulut lo ye, Bu Dok, berasa kelakuan polisi kagak ada bagus-bagusnya di pikiran lo."
"Ye kan gue nanya, Li." elakku.
"Nanya lo sama nuduh kayak kulit ari kacang kedelai. Tipis!"
"Ya abis masa polisi dengan sampingan jualan siomay bisa punya apartemen segini bagus?"
"Nabung dodol! Masih kredit sih nyampe sekarang tapi ini dari gaji gue sendiri. Dan soal jualan siomay itu cuma penyamaran, Budok. Gue lagi ngincer pengedar sekaligus pecandu narkoba di sekolah itu." jelasnya padaku.
Aku manggut-manggut sebelum kemudian suara Ali kembali menyela.
"Heh! Jaga rahasia ini sampai mati. Gara-gara lo kepo gue jadi ngelanggar SOP nih."
"Kalau gue ga mau?" tantangku padanya.
Ali mendekat. Deru napasnya sampai terasa hangat di pipiku. "Lo yang mati. Just choose, Budok?"
Aku bergidik ngeri. Susahnya berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa versi aparat ya begini. Salah-salah nyawa taruhannya.
"Iya apa ga, Budok?"
Aku mengangguk. "Tapi gue ga terima lo panggil Budok. Berasa anjing!"
Ali terbahak. Wajah putih khas arabiannya memerah. "Lha lo kan dokter. Disingkat ya Budok dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Gun
Fiksi PenggemarKamu berhak memilih tetapi bukan menentukan. *** Penyelidikan kematian mahasiswi kedokteran dengan kondisi abortus dan barang bukti dua linting ganja menuntun Samudera Ali Syarief, polisi berpangkat Inspektur Satu ini bertemu dengan seorang dokter...