Prilly Adriana
Mobil menepi di sebuah rumah yang pekarangannya penuh dengan para lelaki memasang tenda dan menggergaji batang bambu. Ali bilang ini rumah orangtua Bang Rivlan yang akan dijadikan tempat resepsi pernikahan Wulan. Di sudut rumah lain tak jauh dari tempat kami berdiri sekarang, kulihat para ibu-ibu dengan mengenakan daster dan kerudung sibuk memasak menggunakan tungku kayu bakar serta wajan besar. Ingatanku melayang ke kondisi dapur di rumah yang sepi karena tanpa adanya sosok Mama. Asisten rumah tangga memasak sesuai kebutuhan atau pesanan saja.
Setelah menyadari rumah kami menyepi tanpa kehadiran Mama, hal yang selalu kuimpikan manakala mulai beranjak dewasa adalah belajar memasak bersamanya. Berbagi resep, terciprat minyak, atau diomeli karena salah potong sayur dan memasukkan takaran bumbu. Tetapi semua tak sempat kudapatkan. Ini bukan perihal menyesali, hanya lebih kepada aku rindu keriuhan dapur ketika anak perempuan dan ibunya saling berbincang sebelum menyajikan masakan khas keluarga.
Sebenarnya aku bukan tak pernah merasakan suasana begitu meski tak sepenuhnya sesuai ekspektasi. Dulu saat awal-awal kuliah aku pernah memasak bersama di dapur kos dengan teman-teman dan ibu kos kami. Ini juga alasan mengapa aku lebih senang tinggal di kos daripada di rumah, interaksi dengan sekitar daripada di perumahan kami yang cenderung sepi dan tetangga sibuk dalam ritme kerja beradu waktu khas kota metropolitan. Kesepian di rumah bertambah setelah jaringan usaha Papa semakin meluas, ia jadi jarang di rumah. Jika pun kami bisa makan bersama, durasi berbincang tetap lebih sering diganggu oleh telepon rekan bisnis atau karyawannya.
Meski jarang bertemu, aku tahu Papa tetap memantauku. Ia masih bertanya tentang kesulitan perkuliahan atau sekadar menanyakan siapa dokter yang sedang mengampu blokku barangkali ia kenal. Dan jika kujawab ia tak kenal, Papa sering berseloroh mungkin ia perlu membuat klinik sendiri agar bisa berkenalan dengan dokter itu.
"Mau langsung ketemu Ibu?" tawar Ali membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya menjauh dari kesibukan para lelaki yang sedang memasang tenda dan janur untuk acara pernikahan Wulan besok. Beruntung aku mendapat izin libur dari pimpinan Puskesmas tempatku bertugas jadi kami bisa berangkat sehari lebih dulu. Sedangkan ayah dan ibunya Ali sudah dari sehari sebelumnya tiba di Palembang.
"Yah, Ali sama Prilly masuk duluan ya mau ganti baju sekalian ketemu Ibu." pamit Ali sekaligus mewakiliku.
"Ajak Prilly istirahat aja dulu, Li. Nanti baru kamu bantu Mang Uncu bangun panggung buat besok."
"Eder (beres), Yah!" Ali menyahut dalam bahasa Palembang yang tak kumengerti. Apa dia keder hanya karna disuruh membantu membuat panggung? Aku tak yakin.
Memasuki rumah yang tadi sewaktu di bandara ia ceritakan sebagai rumah Uncu dan Eteknya untuk tempat kami menginap, aku mulai mendengar suara riuh yang sesekali diselipi gelak tawa dari arah dapur sepertinya. Belum sempat aku menyingkap tirai yang membatasi pandangan dari ruang tamu ke bagian tengah rumah, tangan Ali lebih dulu menahanku.
"Kita taroh barang kamu dulu di kamar, My Sweetheart. Nyusul Ibu bisa ntar sekalian kalau kamu mau liat perempuannya pada masak." titah Ali. Aku mendesah kecewa meski tetap mengikutinya memasuki kamar.
"Kamu ganti baju dulu, kalau mau istirahat juga gak apa-apa. Aku di kamar sebelah, nanti bareng-bareng nyusul Ibu ke dapur sekalian aku pamit bantuin Mang Uncu buat bikin panggung di rumahnya orangtua Bang Rivlan yang tadi ada tenda di depannya."
"Sayang ah, Li, kalau ke Palembang cuma buat tiduran doang." rajukku.
"Gak capek?"
Aku menggeleng.
"Yaudah nanti kita nyusul Ibu sama ketemu keluargaku yang lain."
Selang sekitar lima belas menitan aku dan Ali langsung menuju dapur yang kian terdengar riuh saat kami mendekat. Terlihat para perempuan dengan usia bervariasi sibuk di sini. Ada yang mengupas bawang, memarut kelapa, juga memotong sayur yang sepertinya dari jenis pakis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Gun
FanfictionKamu berhak memilih tetapi bukan menentukan. *** Penyelidikan kematian mahasiswi kedokteran dengan kondisi abortus dan barang bukti dua linting ganja menuntun Samudera Ali Syarief, polisi berpangkat Inspektur Satu ini bertemu dengan seorang dokter...