20. Blessing in Disguise

4.4K 671 151
                                    

Samudera Ali Syarief

Hujan baru saja berhenti meski sisa-sisa airnya masih menetes di atap polsek tempatku bertugas sekarang. Daerah yang memang terkenal dengin ini kian dingin saja rasanya. Hawanya menusuk, membuatku merapatkan jaket kulit slim fit yang seolah hilang fungsi hari ini.

Ingatanku melayang pada malam terakhir di Jakarta sebelum aku berangkat ke sini, sebuah tempat di kaki gunung yang tak akan kalian temukan di atas atlas. Perdebatan yang tak pernah usai dengan ayah, juga sedu sedan tangis ibu.

"Masih kamu mengharapkan dokter anak gembong narkoba itu, Li?" sentak Ayah tajam ketika ia tahu aku masih berusaha melacak keberadaan Prilly setelah enam bulan ia hilang tanpa jejak. "Ingat, Li, gara-gara dia kamu ditunda naik pangkat, bahkan sekarang dimutasi!"

"Bukannya dulu Ayah yang bilang ke Ali kalau memang benar-benar cinta dan menginginkan Prilly, Ali harus berjuang? Karena Tuhan juga gak mau ngubah nasib hamba yang pasrah doang kan, Yah? Bahkan Ayah bilang masih ada kesempatan sekalipun Prilly punya orang. Sekarang Prilly punya Ali, Yah. Apa Ali salah memperjuangkan milik Ali?"

Ayah terdiam. Aku bukan ingin membantah keluargaku sendiri, tetapi apa aku keliru memperjuangkan perempuan yang menjadi sumber kebahagiaanku selain ibuku? Prilly, dia yang sedang kuperjuangkan sekarang dengan caraku meski aku tak tahu di mana ia kini berada.

Ibu mengusap pundakku lembut sekali. "Ibu percaya Abang lelaki yang tangguh, jaga diri Abang di sana. Jaga kesehatan, jaga ibadah. Selalu kabari Ibu dan Ayah kalau ada apa-apa, bukan kami ragu kemampuan Abang bertahan, tapi kami hanya ingin mendoakan Abang lebih dari biasanya."

Aku mengangguk dalam pelukan ibu. Ayah masih berdiam dalam keangkuhannya selama beberapa bulan terakhir. Tapi aku ia tidak akan pernah benar-benar melepaskanku dari pengawasannya.

"Prilly perempuan baik, Ibu yakin itu. Hanya dia belum mengerti posisi Abang sebagai polisi. Berjuang boleh asal jangan membahayakan diri sendiri," ucap Ibu padaku.

"Ndan! Ada kecelakaan di tikungan dekat tambang batu gunung, motornya jatuh ke dalam jurang!" Lapor seorang anggota satuan lalu lintas mengagetkanku.

"Korbannya berapa orang?"

"Tiga orang, Ndan. Satu pingsan, dua luka-luka. Dua SMK baru pulang sekolah sepertinya dan satu lagi penyadap nira!"

"Baik, saya susul ke sana pinjam operational Sabhara untuk bawa ke puskesmas. Kamu dan anggota yang lain amankan TKP sekalian kasih police line!" Perintahku yang langsung diangguki Bripda Dehen.

Gegas aku mengendarai mobil operational Sabhara keluaran Ford dengan tipe double cabin ini. Sengaja bukan memakai mobil patroli mengingat ada tiga korban yang perlu penanganan, tak akan muat jika berada di kursi penumpang samping sopir. Baru seminggu bertugas sudah ada kejadian kecelalaan lalu lintas.

Setibanya di TKP aku langsung meminta anggota dan beberapa warga yang kebetulan melintas untuk membantu mengangkat korban ke dalam mobil. Satu dari dua anak SMK itu perempuan, mungkin mereka pasangan kekasih. Aku tersenyum getir menyebut kata kekasih.

Usai memberi pengarahan lalu lintas sebentar mengingat lokasi yang cukup berbahaya karena tak ada pembatas antara jalan dengan jurang ditambah kondisi licin sehabis hujan, aku langsung melesatkan mobil menuju puskesmas. Seminggu di sini aku memang langsung menghafal beberapa tempat penting, termasuk puskesmas dan masjid untuk shalat Jum'at mengingat mayoritas warga masih memeluk kepercayaan nenek moyang. Itu sebabnya hanya ada satu masjid yang paling dekat selain dua gereja di sebelahnya.

Sepanjang perjalanan dari lokasi kecelakaan menuju puskesmas rintihan terdengar dari remaja laki-laki yang sekilas kuperkirakan lukanya perlu dijahit. Sedangkan remaja perempuan yang mengalami memar di beberapa bagian tubuhnya itu masih terkulai lemas usap pingsan. Hanya bapak penyadap nira yang tak bersuara.

Behind The GunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang