Prolog

1.5K 33 8
                                    

Dan hujan seperti membawakanku sebuah kisah yang tidak akan pernah bisa aku lupakan.

Gerimis di minggu pagi.

Siapa yang rela menghabiskan minggu pagi nan dingin dengan berjalan-jalan ke taman, menantang gerimis yang tidak pernah sendiri? Siapa yang rela untuk meninggalkan kasur empuk, selimut yang menghangatkan hingga ke jiwa, dan saluran televisi di minggu pagi? Ohh..


Aku.

Bukankah hujan sangat indah? Mengapa orang begitu ramai membencinya ketika ia datang? Menunggunya berhenti bersama-sama dengan bosan. Membayar payung demi tak tersentuh olehnya. Bahkan menggagalkan rencana penting karenanya.

Hujan. Dia selalu datang bersama kisah-kisah yang tidak pernah aku lupakan. Kisah yang membangun hidupku.

***

"Morning nda!" Aku mengecup pipi kiri Yanda yang sedang menyantap sarapan roti di depannya. "Biasa, ke taman ya. Daaahh!" Aku berlalu meninggalkannya setelah mengambil roti yang sudah di siapkan Mbok Inah.

"Jangan kesorean sayang. Yanda gak mau kamu besok gak sekolah karna alasan sakit!" Yanda berteriak saat aku mulai berlari meninggalkannya. Terpaksa -sebenarnya tidak- aku tidak menjawabnya, aku tidak bisa berjanji untuk itu. Siapa yang tidak membenci senin.

***

Sebenarnya taman ini lumayan dekat dari rumahku. Hanya berkisar 1 kilometer. Tapi sudah hampir satu jam dari keberangkatan, aku masih belum sampai. Jalan ini terlalu indah untuk dilewati saja.

Tepat tiga rumah dari rumahku, aku mengenal kakek-nenek itu, kakek saman dan nenek julaiha, dan saat ini mereka sedang duduk di depan teras rumah, entah apa yang mereka bicarakan namun tawa mereka renyah sekali, sambil menyantap teh dan roti kelapa. Ohh aku tidak akan mengiklankan merek roti itu, hanya saja aku tahu mereka memakannya karna hanya roti itu yang bisa mereka hisap lalu langsung mereka telan. Tapi tahupun aku akan fakta itu tidak membuat pemandangan ini hilang keindahannya barang sejengkalpun.

Tidak jauh dari rumah mereka ada beberapa kursi yang terbuat dari batang pohon besar yang dipotong melintang, kursi ini untuk pelanggan bubur ayam yang biasanya tiap hari akan buka, namun pagi ini gerimis ini menghalanginya. Kursi-kursi ini berada di bawah pohon beringin yang rindang. Sangat nyaman. Mungkin waktuku menuju taman banyak terbuang disini. Sangat nyaman, memandangi daun yang jatuh tertiup angin, terbasuh hujan, sambil memandang langit yang sendu, dan banyak kenangan yang melintas tanpa permisi.

***

Satu jam. Rekor waktu perjalanan terlama untukku menuju taman ini. Gerimis sudah mulai reda, mungkin berhenti, tapi langit tak jua menunjukan tanda-tanda akan bersinar. Seolah nyaman berselimutkan awan. Awan. Awan. Awan. STOP!!!

Aku baru saja berdiri dari kursi taman, ingin berpindah ke kolam ikan, mengusir ketidaknyamanan, namun aku bukannya berjalan -malah berhenti- dari sini. Aku tiba-tiba sulit terkutik, kakiku enggan pindah dari tempatnya berpijak, dan tanganku seperti telah terlatih untuk mengadah saat hal ini terjadi.

Aku mencintaimu hujan. Mencintai tiap tetes cinta yang kau beri. Mencintai tiap luka yang kau bawa. Kau, Bunda, Awan, Bumi, dan cinta yang lainnya.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang