Chapter 6.2

11 1 0
                                    


Dan aku seketika sadar bahwa dia bercanda akan hal itu. 2 jam waktu yang lama untuk hanya sekedar makan. Aku sedikit tertawa menanggapi penyataannya. Dan respon yang ia berikan jauh dari yang aku bayangkan. Dia terlihat kaget dengan tawa yang aku lontarkan. Walaupun itu sedikit tapi itu tawa, dan dia kanget.

"Kenapa?"

"No.." Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan aku masih enggan untuk berhenti memasang wajah 'kenapa'. "No.. just.." Dia melihat ke arah jalan sebentar sambil tersenyum simpul yang sangat manis, lalu kembali menoleh ke arahku "dari sekian banyak wanita yang aku beri penyataan seperti itu, kamu satu-satunya orang yang menanggapinya dengan tertawa"

Aku menelan jawabannya dan senyumku merekah mendengarnya. Aku tidak tahu maksudnya tapi sangat sangat ingin menjahilinya. "Oh, sering mengatakannya pada banyak wanita, heh?"

"NO.." Dia terlihat sangat terkejut dengan kesimpulan yang aku ambil. "Bukan itu maksudnya"

Dan Aku tidak bisa untuk tidak tertawa mendapatkan respon seperti itu darinya. Seperti dia ketahuan makan permen saat puasa dan dia mencoba untuk membela diri.

Dia segera menyadari aku menjahilinya ketika aku tertawa. Dia melambatkan laju mobil dan memperhatikan aku tertawa dengan lamat. Untung jalanan sedang sepi dan lurus. Karena sekarang sepetinya dia enggan melepaskan pandangannya dari melihat aku tertawa.

Dia melepaskan tangan kirinya dari stir mobil dan mengulurkan tangannya ke arahku. Lebih tepatnya dia menjulurkan tangannya menyentuh wajahku yang sedang tertawa. Dia mengelus tangan kirinya ke pipiku. Seketika aku kelabakan. Tawaku terhenti dan mataku membelalak. Tapi aku membiarkanya melakukan itu. Tangannya menghangatkan, dan aku seperti manusia paling kedinginan yang sangat membutuhkan itu setiap saat.

"Aku suka liat kamu ketawa" Dia melepaskan tangannya dan kembali melihat ke jalan tanpa menghilangkan senyumnya.

Dan aku seperti coklat yang sudah meleleh di sampingnya.

***

"Kamu sering ke taman di dekat rumah kamu itu?"

Aku menggeleng.

"Belum?" Dia terlihat kanget dengan jawabanku. "Sama sekali belum pernah?" Sekali lagi aku menggeleng. Seperti aku terlahir untuk menggeleng.

"Itu salah satu taman yang aku suka."

"Kamu suka ke taman?" Dia mengangguk.

"Kenapa?" Aku heran, dan aku benar-benar bertanya.

"Suatu hari." Aku menunggu dia melanjutkan jawabannya tapi setelah beberapa lama dia hanya berhenti disana.

"Maksudnya? Suatu hari?"

"Suatu hari aku akan ajak kamu ke taman. Dan memperlihatkan apa yang aku suka dari taman." Aku melihat binar dimatanya ketika mengatakan itu padaku. Seperti dia sudah bisa membayangkan hal itu terjadi. Seperti dia akan sangat senang melakukannya.

Aku tersenyum. Dan 2 jam malam ini berakhir dengan hal itu. Obrolan tentang apa yang kami berdua sukai.

***

"Sudah sampai." Dia berhenti di depan pintu pagar rumahku.

Aku bergumam sambil mengangguk. Entah itu "iya sudah sampai." Atau "Hah terasa cepat sekali."

"Kamu masih punya janji sama aku."

"Hah? Apa?"

"Ke taman."

Aku tersenyum lebar ke arahnya. Entah perasaanku saja atau aku melihat dia mengatakan dengan penuh harap. Aku mengangguk.

Setelah menyelesaikan pembicaraan dan saling bertukar nomor telfon, aku memutuskan turun sebelum jam menunjukan pukul 10 malam. Bisa mati kena bantai sama Yanda kalau telat.

***

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang