Chapter 2.2

83 1 1
                                    


Sepertinya Om Langit tidak ingat bahwa hari ini ulang tahunnya. Om Langit pulang dalam keadaan rumah yang gelap gulita. Dia kira sedang mati listrik atau ada konslet karena rumah sebelah tidak mati listrik. Hanya ada satu lampu di halaman belakang yang hidup dan ketika Om Langit datang, dia langsung ke taman belakang untuk melihat.

Bulan yang berdiri dekat dengan sakelar menghidupkan lampu ketika Om Langit sudah mendekat ke taman. Semua lampu lampion hidup menyinari halaman yang cantik ini.

"Happy Birthday Papooo!!" Semua orang berteriak disusul wajah terkejut Om langit melihat kejutan ini. Bagaimana dia bisa lupa, padahal setiap tahun mereka selalu memberi kejutan. Pekerjaannya kadang membuat dia lupa hari-hari penting dalam hidupnya.

Om Langit ditarik oleh Bulan ke tempat duduk di meja utama. Di samping kanan mejanya ada Tante Bintang dan di kiri meja ada Bulan yang menggelantung manja pada Papinya. Aku duduk tepat di samping Bulan. Iya di depan Kak Awan. Dia duduk tampan di sebelah Tante Bintang. Duduk tampan? Hah

Sedari tadi acara ini seru sekali. Acara utama yaitu makan besar bersama di meja utama. Lalu dilanjutkan dessert yang disediakan di meja-meja kecil dekat kolam. Tante Bintang dan Om Langit terlihat mesra sekali bernyanyi lagu-lagu kenangan mereka sambil berangkulan menghibur tamu-tamu undangan.

Aku, Bulan dan Aisyah sibuk mencicipi dessert yang lezat ini sambil bergosip atau ikut bernyanyi lagu lawas yang kami sedikit tahu. Awan, dia sedang duduk di arah tengah taman, ngobrol bersama teman Om Langit dan Tante Bintang yang ingin memperkenalkan anak perempuannya. Ah ada yang cemburu rupanya.

***

Acara sudah selesai 1 jam yang lalu. Sekarang kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bersiap ingin pulang dan istirahat. Ini malam yang melelahkan dan menyenangkan.

"Rain, kenapa tidak menginap saja?" Tante Bintang berdiri di sampingku, sedikit merangkul pinggangku. "Aisyah juga menginap di sini kan malam ini? Jadi kalian bisa pulang besok pagi." Dia melirik kearah jam tangannya. "Sudah larut sekali nak."

"Maaf ya tante. Aku sudah terlanjur janji sama Yanda Bunda bakal pulang malam ini. Besok harus pergi pagi-pagi tante." Aku tersenyum canggung ke tante Bintang.

"Ya sudah. Awan kamu yang antar Rain pulang ya." Aku tak bisa menahan untuk tidak terkejut atas pernyataan tante Bintang. Aduh jangan dia ya tante.

"Iya. Kasian adik kamu kalau harus antar Rain malam-malam begini". Om langit kelihatannya cocok sekali dengan tante Langit. Saling mendukung. Aku diam saja. Ini pertama kali aku datang, tidak mungkin langsung minta ini itu.

"Iya. Aku ambil jaket dulu" Rasanya kecil sekali otakku. Seketika diberi sedikit tekanan seperti ini, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku coba memikirkan apa saja yang harus aku aku lakukan selama perjalanan dan jawabannya adalah aku tidak menemukan satu halpun. Sampai dia kembali aku masih belum punya ide untuk hal itu.

Aku berjalan membuntutinya dibelakang. Kami akan menggunakan mobil Bulan yang tadi menjemputku. Setelah pintu mobil siap melaju, kami siap masuk kedalam 'awkward moment' zone. Aku yang memilih melihat keluar jendela dan dia sibuk pada setir mobil.

"Ini belok kanan?" Dia bertanya sambil memelankan laju mobil.

"Hah?" Pertanyaan itu sontak membuat aku menoleh. Tidak mengerti. Dia hanya mengengkat alis, sebagai pertanyaan untuk pertanyaanku.

"Di depan ada persimpangan. Belok kanan?" Tahu sepertinya aku tidak mengerti dia menanyakan lebih jelas.

"Oh bukan. Lurus saja kak" Aku tahu aku bodoh kalau di dekat orang-orang tertentu. Eh eh kok. "Loh kok belok kak? Lurus aja" Entah dimana otak pria ini. Jelas aku bilang lurus, malah dia belok kanan, ke arah sekolah.

"Aku lapar". Aku menoleh tidak percaya pada jawabannya. Lalu kenapa kalau dia lapar. Lagipula bukannya di pesta tadi banyak makanan.

"Terus kenapa kalau lapar?" Aku mencoba menekan suaraku agar tidak meninggi dan terkesan takut walaupun memang kenyataannya begitu. Dia tidak menjawab, malah menepikan di warung tepi jalan yang banyak menjual jajanan kaki lima. Setelah mobil dirasa sudah terparkir pas, dia baru menoleh ke arahku. "Kalau lapar aku mau makan dulu".

"Tadi kan di rumah banyak makanan kak"

Bukannya malah menanggapi, dia malah keluar mobil dan berjalan kearah pintuku, membukakanya. "Tadi di rumah tidak sempat makan. Temen Mamo Papo ngajak ngobrol terus" Dia menoleh ke arah penjual sebentar "Mau ikut gak?". Aku melongo. Mana mungkin aku diam saja di dalam mobil menunggu dia makan. Akhirnya aku mengangguk. Tidak ada pilihan yang lebih baik.

***

Selama dia makan, kami mengobrol tentang warung ini. Dia bilang kalo malam minggu seperti ini, tempat ini ramai sekali. Warung ini ternyata tempat nongkrong favorit anak sekolahan karena tempatnya dekat dengan sekolah yang salah satunya sekolahku. Warung ini juga berada tepat di depan lapangan yang sering dipakai sebagai tempat pasar malam. Seperti malam ini, ramai sekali karena pasar malam masih buka sampai jam 12.

"Orang lebih kenal warung ini dengan warung SD". Dia membuka pembicaraan lagi stelah aku larut memperhatikan pasar malam di depan kami.

"Kenapa warung SD?"

Dia tersenyum dulu, tampan sekali. "Karena dulu, warung ini hanya jual jajanan SD". Dia sedikit tertawa, lalu seperti menerawang ke masa lalu. "Dulu kalau SD, cari jajanan beken, ke sini aja, pasti dapat. Sekarang sudah rame. Jajanannya sudah banyak jenisnya". Dia menoleh lagi padaku. "Kamu SD nya bukan di daerah sini?"

Aku menggeleng. "Waktu SD aku masih di Jambi. Yanda kerja di sana. SMP, aku baru pindah ke sini, satu sekolah dengan Aisyah"

Dia hanya ber-ohh. Kemudian selang beberapa menit, kami sudah selesai dan melanjutkan perjalanan pulang.

***

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang