Chapter 1.1

885 8 3
                                    


"Mbak Re, bangun mbak. Sudah jam setengah enam loh ini mbak" Mbok Inah menggoyangkan tubuhku sopan. Aduh dingin sekali. Bukannya bangun aku malah menarik selimutku lebih tinggi. Dingin sekali. Sungguh.

"Loh kok malah selimutan mbak?" Aku mendengar hembusan nafas ya-udah-mbak-saya-nyerah-nya mbok sebelum bisa merasakan kepergian Mbok dari kamar. Tapi tidak lama berselang malah Bunda yang masuk ke kamar.

"Rain! Bangun" Itu suara Bunda. Tentu saja tidak selembut Mbok Inah tadi. Oh iya, Aku Rain. Bunda dan Yanda memanggilku Rain, tapi karena Mbok Inah merasa itu terlalu sulit untuk diucapkan, jadi dia menyingkatnya menjadi Re. Rain = Rein = Re. Dasar Mbok Inah. Karena Mbok Inah, semua mbok-mbok sekomplek yang sering ketemu Mbok Inah kalo lagi beli sayur memanggil aku dengan 'Mbak Re'. Pernah aku marah sama Mbok, sebenarnya bukan marah, hanya menyampaikan ketidaksukaan aku. Namun ternyata dipanggil Mbak Re jauh lebih keren daripada membiarkan Mbok Inah dan cs memanggilku 'Mbak Rain' atau 'Mbak Rein' dengan medoknya.

"Rain ini sudah jam enam!"

Gagal pastinya.

"Rain bangun, atau Bunda suruh Yanda yang bangunin?"

Masih gagal

Aku mendengar suara pintu kamarku kembali terbuka. Pasti Yanda yang datang karena mendengar suara berisik di pagi hari seperti ini. Hal ini biasa terjadi, semua anggota rumah berkumpul –hanya- untuk membangunkanku. Rainy.

Yanda langsung menarik selimut tebalku –caranya memaksaku bangun dari posisi nyaman tidur di senin gerimis ini. Ohh kutuklah cuaca yang memaksaku untuk malas bangun hari ini, Yanda!. Sebentar terjadi adegan tarik menarik selimut yang tak terhindarkan oleh aku dan Yanda. Namun akhirnya aku menyerah. No! Bukan menyerah untuk bangun, namun menyerah menarik selimut yang di tarik Yanda. Kapan ya Tuhan kapan wajib sekolah ini berakhir!!.

Aku mendengar Yanda sedikit tertawa lalu kemudian berbaring di sampingku. Sungguh jangan menyuruhku membayangkan wajah merah padam Bunda sekarang.

"Yanda! Ihh. Ini anak sama bapaknya sama aja!" Bunda menarik tangan Yanda untuk berdiri dari tempat tidur dan kembali membangunkanku. Aku bisa menangkap betapa jengkelnya Bunda saat ini melihat Yanda berbaring sambil memelukku. Hangat. Sungguh aku percaya diri akan menang hari ini.

1 detik. 2 detik. 15 detik. 30 detik.

Hanya 30 detik kemenangan itu terasa sampai Yanda membuka suara.

"Rain! Bangun. Sekarang" Suara bass itu sangat kentara pemiliknya. Ohh beri aku keberuntungan hari ini tuhan!

Yanda kembali mendekatkan diri untuk memeluk anak kecilnya ini. Ternyata Yanda ingin membisikkan sesuatu. Mungkin seperti sebuah lafadz dari peri seperti: Oke sayang, hari ini kamu menang. Atau semacamnya?. Aku menunggu.

"Rain. Bangun atau Yanda akan tarik handphone, gadget, dan uang jajan kamu selama satu minggu!" Nooo daddy nooo.

Yang terjadi selanjutnya adalah aku yang tanpa ba-bi-bu langsung duduk menatap Yanda. Sungguh dia bahkan masih dengan tenangnya memejamkan mata berbaring di sisi lain tempat tidurku. Ohh, jangan lupakan wajah Bunda yang sudah seperti tomat sambil menahan tawanya. 30 detik saja. 30 detik saja rasa kemenangan itu hancur menjadi debu.

"Nda, pagi ini dingin banget". Aku mencoba merayu dengan memasang wajah sedih bak budak yang kehilangan pekerjaan. "Aku rasa aku sakit deh Nda". Yanda masih bergeming di tempat. "Yandaaa"

"Nope! Sudah sana kamu siap-siap Rain!". Suara bunda seperti suara setan, datang seperti tak bertuan. Karena dia membuka-buka majalah yang berada di tempat tidurku tanpa mengubah ekspresinya sedikitpun.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang