"Rain! Kamu gak gila kan?" Bulan tidak basa-basi saat menemukanku di kantin.
"Rain, kamu kan tahu sendiri Pak Jack gak pernah memberi toleransi pada anak yang telat" Ini Aisyah, bicaranya lebih lembut dari Bulan. "Bisa-bisa nilai kamu jadi C untuk pelajaran beliau". Yah, hari ini aku lupa bahwa jam pertama diisi oleh Pak Jack, guru matematika, otomatis aku langsung di usir olehnya. Padahal jika aku tidak masuk, bisa saja Bulan atau Aisyah membantu berbohong dengan mengatakan aku sakit. Oh kepalaku pusing memikirkan hari ini.
"Aku lupa". aku menyerah untuk memperpanjang kegundahanku hari ini. "Udah ah. Pesen makan yuuk" Sebenarnya aku tidak terlalu lapar, nasi goreng Mbok Inah cukup untuk mengganjal perut hingga siang, tapi stress selalu membutuhkan cemilan sebagai penawarnya.
"Ya udah biar kita aja yang pesen. Kamu tunggu di sini. Oke". Aisyah melesat menuju Mang Amil, penjual bakso langganan kami di kantin ini. Yah sebenarnya langganan seluruh anak sekolahan. Baksonya enak sekali. Bakso Mang Amil ini selalu jadi incaran para alumni kalau main ke SMA. EH. Aku belum bilang bahwa aku siswa SMA kelas X. Iya kelas X aja sudah sebandel ini.
Sebenarnya daritadi aku tidak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin, terlebih ke pintu masuk kantin. Berharap menemukan pria berhoodie itu. Tapi hasilnya nihil. Cuaca sudah kembali membaik, sehingga siswa sudah menanggalkan jaket atau pakaian penghangat lain. Tidak ada satupun siswa yang menggunakan jaket lagi sekarang. Lalu bagaimana aku bisa menemukan pria itu jika hanya itu yang aku kenali.
Karena gagal menemukannya, aku ingin memperkenalkan Aisyah dan Bulan saja pada kalian.
Aku mulai dari bagaimana aku bertemu keduanya. Jadi aku dan Aisyah satu sekolah sejak dari menengah pertama, tapi beda sekolah dengan Bulan. Namun Aisyah dan Bulan bertetangga, yah jarak beberapa rumah saja katanya. Sebenarnya yang lebih membuat mereka kenal adalah hubungan kedua keluarga mereka. Baba Aisyah tidak secara kebetulan bekerja di Perusahaan milik keluarga Bulan. Tentunya sahabatnya sahabat adalah sahabat. Jadi inti sari dari paragraf ini adalah pada awal mulanya Aisyah-lah yang menyatukan hubungan kami bertiga.
Aku mulai dari memperkenalkan Aisyah. Hal ini dikarenakan aku sudah mengenalnya lebih dahulu. Aisyah Zainab Baghi, putri tunggal dari Tuan M. Adam Baghi dan Nyonya Zainab Baghi. Aku dengar mamanya mengalami trauma saat persalinan sehingga hanya memungkinkan memiliki satu anak saja.
Keluarga ini terkenal sekali karena kebaikannya. Apa saja bentuk kebaikan itu, dermawan iya, ramah iya, sepertinya sebutkan semua jenis kebaikan maka akan aku iyakan semuanya. Sepertinya baik sekali, sehingga tiap orang menyebutkan nama keluarga ini dalam radius berapa kilometer dari rumahnya, maka orang akan tersenyum dan dengan ramahnya akan menjawab pertanyaan tentang keluarga kecil ini.
Sebenarnya om Adam dan tante Zainab tidak terlalu ganteng dan cantik. Om Adam punya alis lebat, hidung besar dan mancung, bibir tebal, kulit yang tidak terlalu putih, dan mata yang belok. Berbeda dengan tante Zainab, yang punya alis tipis sekali, matanya cipit, hidungnya pesek, kulitnya putih, dan bibir yang tipis. Namun lihatlah anaknya, sosok sempurna dari campuran keduanya. Mungkin ini yang dinamakan campuran yang pas.
Aisyah punya alis tebal, mata belok milik papanya, punya kulit putih dan bibir tipis mirip mamanya, dan hidung mancung namun kecil yang merupakan perpaduan keduanya. Pipinya chubby, entah ikut siapa, namun yang pasti itu menambah kesan imut bagi Aisyah. Dan (lagi) nilai positif bagi Ananda Baghi ini adalah sifatnya yang lembut, tak jauh dari orangtuanya.
Untuk Bulan, tak banyak yang aku tahu. Aku baru mengenalnya sejak masuk sekolah. Oh iya, sekolahku di SMA ini baru berjalan sekitar 1 bulan ini.
Dia Bulan Langit. Iya itu namanya. Anak kedua dari –mungkin- dua bersaudara. Aku belum mengetahui banyak tentang keluarga ini. Aku hanya tahu dia punya kakak, aku bahkan kurang tahu kakaknya laki-laki atau perempuan. Adik? Aku rasa tidak punya. Dia tidak pernah mengatakan apapun tentang seorang adik. Jadi mari berasumsi dia tidak punya adik saja.
Oh, 1 bulan itu waktu yang sangat sebentar untuk mengenal seorang sahabat. Apalagi sebagai siswa baru yang gencar-gencarnya diberi tugas dan PR. Kami hanya saling mengenal lewat tawa dan kenyamanan. Aku bahkan belum pernah kerumah Bulan.
Tapi aku tahu dia golongan orang berada. Lebih tepatnya golongan atas. Sebenarnya aku hanya menyimpulkan, sebab Aisyah bilang papanya bekerja di perusahaan milik keluarga Bulan. Tapi tentu saja aku tidak berteman karna mengincar kekayaannya. Aku tidak suka mengusik kekayaan orang lain. Lagian, Yanda juga pemilik salah satu perusahaan di kota ini.
Oh kembali ke Bulan. Dia anak dari Tuan Langit dan Nyonya Bintang Langit. Selebihnya, nanti seiring berjalan waktu, aku akan tahu.
3 bulan ini sering sekali kami habiskan bersama, walaupun belum pernah mengunjungi rumah Bulan, rumah Aisyah bahkan rumahku. Waktu banyak kami habiskan di sekolah, ke taman, ke mall, ke pantai, mengerjakan tugas, dan selebihnya chatting.
Apalagi yang ingin aku ceritakan tentang mereka ya. Ah mungkin ini. Aisyah, akan disapa dengan Aisyah, tidak boleh di singkat katanya. Dia tidak mau disapa Ais, Syah, Caca, atau semacamnya, just Aisyah. Terlalu panjang memang, tapi lebih baik memanggil orang dengan panggilan yang nyaman untuk dia. Kalau Bulan, sama saja. Bulan, tidak boleh ditambah apalagi dikurangi. Aku? Rain. Ucapkan seperti menyebutkan "rain"nya hujan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
Teen FictionDan hujan seperti membawakanku sebuah kisah yang tidak akan pernah aku lupakan