Bagian 24 - End Line

8.2K 361 18
                                    

Bab 24: Even after all this time the sun never says to the earth, "you owe me." Look what happens with love like that, it lights the whole sky


Pasangan tua itu sedang duduk di kursi di teras rumah sambil menyeruput kopi dan menikmati semilir angin pagi, sepi. Kampung mereka jarang ramai, semua orang menyebut kampung itu sebagai kampung para orang tua. Enzo tampak membaca koran sport dan melihat score tanding sepak bola semalam yang tidak sempat ia tonton. Istrinya, Hanna, tampak akan terus berbicara yang tak hendak ia gubris, selama satu jam penuh wanita itu mengomelkan hal yang sama.

"Heran, pak, Alex sudah tahu begitu masih ngeyel juga. Saya ini cuman khawatir dia tinggal di sana terlalu lama, kita ini sudah jarang ketemu tapi kok ya tega pindah ke London dua tahun..." ucap Hanna dengan nada kesal tak terima.

"Urusan kerja, bu," jelas Enzo tanpa menengok istrinya, Hanna mendengus tak suka.

"Saya ini ibunya, saya tahu bagaimana Alex itu, dia hanya pergi jauh-jauh kalau ada masalah..."

"Sudahlah, bu, mau bagaimana lagi mengurusi anak keras kepala satu itu, sampai berbusa mulut ini, dia juga tak akan mau dengar. Lagipula dia akan menikah minggu depan, setidaknya ada yang menemaninya disana," ucap Enzo.

"Sebenarnya saya tak begitu suka wanita yang dia bawa kemari kemarin itu, dia... Pakaiannya itu loh pak, terbuka. Mereka sudah kenal sejak SMA, kan? Saya kok kasihan, sejak Alex masuk SMA dia tidak dapat perhatian dari keluarga," ucap ibunya masih tampak cemas, menatap kopi di tangannya kemudian menerawang jauh ke dalam sana. "Bukan apa-apa, tapi dua tahun jauh dari keluarga lagi, saya kayanya nggak bakal sanggup pak," lanjutnya galau.

Enzo yang akhirnya terbawa suasana istrinya, melipat koran dan meletakannya ke atas meja. Di tatapnya sang istri yang sudah menemaninya tiga puluh tahun terakhir tanpa bosan.

"Kelihatannya dia perempuan baik-baik kok, bu, hormat sama orang tua. Alex juga sudah suka dari SMA, keberuntungan bisa menikah dengan orang yang disukanya cukup lama. Alex itu laki-laki pintar, keputusannya untuk menikah adalah keputusan yang matang. Sudah saatnya juga kita menimang cucu," ucap Enzo.

Hanna cemberut sebentar kemudian mengangguk, "tapi tetap saja, pak, dua tahun itu tidak sebentar, ibu ndak mau saat ketemu lagi Alex jadi canggung sama kita."

"Sudahlah, bu," Enzo menghela napas capek.

"Sudahlah, sudahlah! Dia itu anak kita, pak!"

"Iya, aku ngerti, dan anak kita ini sudah gede, ibu tidak bangga melihat keteguhan Alex membangun perusahannya seorang diri?" tanya Enzo, Hanna mengangguk lagi, "nanti sore ibu temani calon pengantinnya fitting, Alex sudah minta tolong pada ibu."

"Tanpa Alex minta pun, ibu beri pak, cuman di antar fitting baju saja kok. Ngomong-ngomong Alex juga beri uang untuk pakaian kita juga, jadi kita juga sekalian fitting."

"Bawa saja salah satu kemejaku," ucap Enzo.

"Heran deh, pak, disuruh keluar rumah kok susahnya minta ampun, ya sudah, ibu masuk dulu," ucap Hanna gemas. Ia mengambil cangkir-cangkir kopi diatas meja sebelum membawanya masuk.

Enzo diam saja, menatap lurus keluar pagar rumah, menerawamg dari sana. Kedatangan Alex kemarin dengan membawa calon wanita yang akan dinikahinya memang mengejutkan Enzo, walau tak pernah benar-benar dekat dengan anaknya, Enzo tetap dirudung kecemasan yang sama layaknya para orang tua lainnya. Tapi ia senang Alex menyempatkan untuk datang dan memperkenalkan calonnya, walau waktunya sangat mendadak. Bagaimanapun, Enzo menduduk sepenuhnya anak laki-laki sulungnya yang sangat ia kasihi itu.

Tux & Apron (Watty's 2016)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang