Bagian 10

6.3K 353 13
                                    

Bag 10: "Sometimes good people make bad choices. It doesn't mean they are bad people, it means they're human." (anonim)


Sebenarnya Karin masih tidak bisa menerima keadaannya sekarang. Pukul tujuh itu dia sudah bersiap-siap, mengganti pakaiannya ogah-ogahan dengan baju berlengan pendek berbahan kaos berwarna suram. Moodnya bisa sangat buruk setiap mengingat pembicaraannya kemarin dengan Alex. Jika Roxie ada disini, mungkin sangat membantu untuk mengeluarkan semua perkataan tidak pantasnya yang paling pintar untuk Alex.

"Karin," Alda mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka dan kemudian masuk, melihat anaknya disana sudah siap.

"Kau akan bekerja pagi sekali?" tanya perempuan itu.

"Ya, aku akan masak sebentar ke sana dan melihat keadaannya kemudian langsung kembali ke restauran," jelas Karin hati-hati.

"Oke, hm... Ada sebuah mobil sedan di depan, sepertinya kiriman dari Alex," ucap Alda, Karin mengerjabkan mata tak tahu menahu.

"Mungkin," jawabnya kehabisan semangat, berpikir bahwa ia sudah benar-benar bekerja untuk Alex membuatnya sama sekali tak bersemangat. Wajahnya murung.

"Mama tahu ini sulit untukmu," ucap Alda akhirnya. "Mama pikir, membuat dia kasihan tidak akan membebaskanmu. Dan ini adalah kesempatanmu, Karin." Karin diam karena tak mengerti, Alda maju beberapa langkah untuk menyentuh lengan anaknya, mengelusnya seperti menenangkan.

"Selalu ada cara, Rin. Bersikap sama kerasnya tidak akan menyelesaikan apapun, coblah untuk mendekati laki-laki itu jika menjadi teman adalah pilihan terakhir, tak masalah."

Karin mengerti, mungkin Alda sudah banyak menggunakan kekecewaannya untuk Karin. Tapi dari sana, wanita itu sangat bijaksana. Alda tidak ingin Karin berpikir tidak ada jalan, tapi Karin juga berpikir ia sudah tidak punya pilihan lain selain melakukannya.

Ia pun mengangguk dan Alda tersenyum, mengantar Karin sampai pintu keluar.

Terang saja Karin mengetahui mobil itu, terakhir kali melihatnya mobil itu membuatnya takut. Mengingat laki-laki berbusana serba hitam yang menyeretnya masuk dengan paksa.

Karin mengetuk pintunya dan pintu terbuka, ia bisa melihat Nico disana yang menatapnya dengan mata setengah mengantuk.

"Pagi Karin," sapa laki-laki itu.

"Pagi, Pak Nico," balik sapa Karin canggung.

"Masuklah," ia mempersilahkan, Karin mengangguk dan mengambil duduk dikursi disamping Nico.

"Pak Ben yang menyuruhku menjemputmu, dan tidak ada perintah apapun setelahnya selain membawamu kesana. Tidak ada syarat bekerja dan kebijakan apa-apa, sepertinya Pak Ben bakal memberi kebebasan bekerja padamu," ucap Nico. Karin benar-benar ngeri mendengarnya, apakah laki-laki itu bekerja dengan serius bahkan untuk sejenis pekerjaan seperti ini? Apakah begini Alex akan memperkerjakan semua pekerjanya? Yang dimaksud bukanlah kebebasan yang dimaksud Nico, tapi cara Nico membicarakannya membuatnya meringis. Seakan bisa membaca pikirannya, Nico berkata,

"Pak Ben suka profesionalitas, dia tidak ingin sesuatu tampak berantakan dan tidak terkontrol."

Dan Karin menghembus napas berat, benar juga, laki-laki sombong sepertinya tidak akan tahu apa itu hubungan baik antara atasan dan bawahan. Dia pasti sangat membosankan saat bekerja, pikir Karin.

Tux & Apron (Watty's 2016)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang