Bagian 8 - Pertemuan Sesungguhnya

7.8K 376 14
                                    

Bag 8: "Why do you have to make things so complicated?" (Anonim)

cast as Ben Alexander

Pricilla Anggraini, sebaik apapun Alex melupakan perempuan itu, nyatanya Alex tak pernah lupa. Ginna benar, Alex pernah menyukai seseorang semasa ia SMA. Tapi Alex tak pernah menyebutnya cinta, walau perasaannya lebih dari itu. Alex lebih suka merasakannya sendiri tanpa tahu apa istilahnya. Karena mencintai seseorang tak pernah mudah untuknya.

Tidak ada yang spesial dari Ben Alexander sewaktu SMA, laki-laki miskin yang alas sepatunya berlubang karena sering ia gunakan untuk lari saat berada dalam masalah. Lari sejauh yang ia bisa sampai rasanya sudah seperti melayang saat ia melakukannya lagi.

Ben, remaja SMA yang tak tahu bagaimana caranya tersenyum, yang menyedihkan dan menjijikan. Laki-laki kurus dan tinggi dengan wajah kaku dan mata yang memandang penuh keberanian padahal dia tidak pernah punya nyali selain mendapati dirinya berdiri dihadapan masalah dengan kaki gemetaran.

Sedang Pricilla adalah kakak kelasnya, wajah cantik bak barbie dan rambut panjang yang selalu bergerak indah saat dia berjalan. Wanita manapun akan iri padanya, karena Ben sendiri yang berdiri disana untuk menyaksikan. Tapi sayang, perempuan cantik seperti Pricilla tidak akan mau pada laki-laki miskin dan menyedihkan seperti Ben. Sebaliknya, Pricilla bersama laki-laki kaya dan yang Ben tahu, yang paling brengsek disekolah mereka. Martin Karnigan.

Hari itu masih cukup pagi. Setiap melewati koridor, Martin dan kawan-kawan akan berdiri diujung sana untuk menunjukan seberapa berkuasa mereka. Mengeraskan tawa dan terkadang menatap rendah pada sepasang mata lain yang memperhatikan. Ben berjalan kesana, tak pernah memasang raut wajah yang berarti, tidak menantang dan tidak juga merendah.

"Woy cupu!" Panggil Martin, nyatanya, panggilan itu cukup akrab ditelinga Ben. Ben mengalihkan pandangannya pada mereka, mendapati Martin menyeringai padanya. "Kemarilah," ucapnya. Ben diam, awalnya tak yakin, tapi ia tak ingin mencari gara-gara pada kakak kelasnya yang satu itu.

"Kau pikir kau bisa berjalan terus seperti itu seakan aku tidak ada?!" bentaknya, tangannya terangkat dan memukul kepala Ben. Ben meringis dan menyingkirkan kepalanya sedikit. Martin tertawa karena tidak adanya perlawanan itu. Ia kemudian menepuk puncak kepala Ben dengan lembut. "Pergilah."

Untuk beberapa alasan dan yang cukup kuat untuk Ben bertahan, ia tak ingin dan tak pernah punya hubungan apa-apa dengan Martin walau ia begitu membenci laki-laki itu, bahkan tak sekali Ben berkeinginan untuk memukul Martin sampai laki-laki itu kehabisan darah. Tapi ia benar-benar tak pernah ingin terlihat, ia tak suka menjadi bahan perhatian termasuk bagaimana ia diam-diam memperhatikan Pricilla dari gedung lantai dua yang menghadap langsung kekelas dan gadis itu pasti akan duduk paling dekat dengan jendela.

Pricilla tak pernah bahagia, itulah yang dilihat Ben. Senyum gadis itu seluruhnya adalah palsu. Di bawah jendela, dia sering merenung dan sesaat yang lain matanya akan tampak berembun sebelum telungkup dan berpura-pura tidur di bawah jendela. Ben selalu tahu tentang semua itu dan hanya diam terus memperhatikan dibalik bayang-bayang suram miliknya.

***

Karin merasa beruntung punya teman seperti Roxie. Setidaknya perempuan itu selalu mendukung apapun yang akan Karin lakukan, terlepas apakah Karin masih menganggap Salsa atau Ali ada untuknya. Karin menceritakan kesialannya pada Roxie, lagipula Roxie sudah banyak tahu karena ide soal restauran itu juga bermula dari Karin yang memasang wajah memelas.

Tux & Apron (Watty's 2016)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang