"Sayang, sedikit longgar lah, kasihan dia sudah tidak punya sanak keluarga. Lagian dia bisa bantu kamu buat bersih-bersih. No no, nggak ada bantahan, bunda capek hati tahu liat rumah berantakan tiap ditinggal."
"Ayah sepakat sama Bunda, lagian lumayan kan kak, ada sedikit pemandangan di rumah."
PAK
"Ayah, fokus! Java sayang, kamu sudah gede, bunda sama ayah percaya kok sama kamu. Kamu bisa lah jaga diri dan jaga dia. Masa hanya takut berduaan di rumah kamu sampe mau nelantarin orang gitu?"
Java diam. Susah memang kalau berbicara dengan orangtuanya masalah seperti ini. Seolah agama hanya berhenti pada masalah peribadatan. Disuruh sholat, harus. Disuruh puasa, ya mesti. Zakat, haram ditinggal. Haji, ya ayuk. Namun begitu masuk tataran yang berhubungan dengan orang lain, ada saja pertimbangannya. Logika, perasaan, kerepotan, sampai dengan pandangan orang lain, semua dipikirkan sampai pelaksanaan pun tambal sulam. Sepakat dijalankan, tidak sepakat ditinggalkan.
"Kalau memang kasihan, mbak nya bawa aja ke rumah wetan. Bunda dan Ayah kan lebih banyak di sana nya. Lagian di sana lebih aman, banyak orang dan ada tempat terpisah. Nggak kayak rumah ini. Nanti kalau Jav dituduh yang iya iya gimana?"
Baiklah, kalau memang tidak bisa pakai dalil agama, coba menangkan dengan logika. Keluarganya memang punya dua rumah, satu rumah di daerah kota yang keluarganya sebut rumah kulon karena letaknya yang memang ada lebih ke Barat dibandingkan rumah lainnya yang ada di pinggiran kota, yang mereka sebut rumah wetan.
"Hhh...Hari gini siapa sih yang nggak ada pembantu Jav. Bunda deh nanti yang bilang ke tetangga kalau dia pembantu. Lagian kayak kamu bakal sering di rumah saja."
Java mengernyit. nah nah, mulai deh, mulai.
"Bunda sampai nyesel ngijinin kamu buka usaha sendiri. Belum jadi besar aja udah ngilang terus, gimana kalau udah gedhe."
"Namanya merintis bun, baru menjajaki untuk buka konter baru juga."
Sejak dua tahun yang lalu Java memang membuka usahanya sendiri. Bukan usaha besar memang, hanya laundry, tapi perkembangannya signifikan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan menambah tabungannya.
"Relasi relasi, tapi rumah jangan disampingin dong. Gimana nanti kalau sudah ada istri."
Nah kan.
"Kan belum bun."
"Makanya, kapan nikah?"
Dan pusinglah Java. Membicarakan apapun dengan bundanya saat ini selalu membawa dampak pada diangkatnya topik nikah. Apakabar tadi si mbak?
Jangan bayangkan usia Java sudah di akhir 20 an tahun atau malah sudah menginjak 30 tahun. Tidak. Umur Java baru 24. Lulus kuliah dari jurusan ekonomi saja baru tahun kemarin. Masih muda? Jelas. Usia kedua orangtuanya yang tidak lagi muda.
Usia Ratri dan Tejo, bunda dan ayah Java, sama-sama sudah memasuki 60 tahun. Keduanya menikah di usia 29 tahun, dan mereka harus menunggu tujuh tahun lamanya untuk mendapatkan Java, anak semata wayang mereka.
Tidak ada masalah dengan sistem reproduksi keduanya, berbagai program hamil juga sudah dilakukan sejak setahun pernikahan. Namun anak memang hak sang Maha Pencipta, kalau Dia belum menciptakan, tidak mungkin membuat anak dari kertas. Di tahun ke tujuh, saat mereka sudah pasrah, tidak melakukan hal-hal khusus, Java malah hadir dalam rahim Ratri.
Perjuangan untuk mendapatkan anak membuat Ratri begitu sensitif dengan penelantaran anak. Miris rasanya anak yang ditunggu oleh sebagian orang dibuang begitu saja oleh sebagian yang lain. Sebab itu Ratri banyak membantu anak-anak terlantar, entah dengan menyumbang ke yayasan, atau memberi mereka pekerjaan. Bersyukur usaha garmen yang dia jalankan bersama suaminya dapat menjadi ladang hidup tidak hanya untuk keluarganya, tapi juga keluarga orang lain.
"Sudahlah dek, biar Java menikmati masa mudanya..."
Tejo yang dari tadi hanya sibuk dengan makanannya akhirnya bersuara. Sedih melihat makanan di depan dua orang kesayangannya terlantar karena debat keduanya.
"Mas..."
"Kita saja baru ketemu di usia yang tidak lagi muda, masa mau maksa-maksa Jav tho."
Java menghela nafas. "Dido'akan saja bun, Jav bukannya belum mau, tapi memang belum ketemu."
"Gimana mau ketemu kalau kamu sama cewek aja jarang banget mau ngobrol."
Java terhenyak, suara Ratri parau sudah. Ah, lagi-lagi dia menyakiti bunda nya. Padahal Java sudah pernah mengatakan alasannya, bahwa ada cara yang lebih ahsan untuk mendapatkan pendamping. Tidak perlu sengaja bercakap secara pribadi dengan seorang yang bukan mahram.
"Kalau bunda ada kenalan yang menurut bunda baik untuk Jav, asal dia Islam dan mau belajar, Jav bersedia deh."
"Sungguh?"
Keceriaan Ratri yang tiba-tiba membuat Java mulas. Ah, sepertinya Java salah. Java tidak yakin pilihan bundanya akan memenuhi kriterianya. Meski begitu Java tetap mengangguk. Dia percaya, Allah pasti tidak akan memberikan yang buruk untuknya yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya.
Lantas Java teringat asal obrolan mereka. "Bun, terus gimana ini? Bunda beneran akan bawa mbak nya ke sini? Jav udah ngalah lho."
Ratri melihat Tejo penuh harap. Anggukan pasrah Tejo membuatnya tersenyum lebar. Dengan riang Ratri berkata.
"Ya malah harus dibawa kesini. Dia calon yang mama tawarkan untukmu."
Java yang sudah akan menyendok nasinya mematung, ah...minat makannya pudar sudah.
***
Tiba-tiba ada ide untuk satu cerita, langsung saya tuangkan agar tidak lupa. Tetap akan lebih konsen untuk dibalik pertemuan. So, ini sangat mungkin updatenya jadi lama :)
Ada masukan, ada request, monggo leluasa saja disampaikan.
Rulz, 29Feb16
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...