[Relativitas Kesusahan dan Kesenangan]
***
Hari Kelabu
Sudah satu bulan lamanya Mujib terpujur lemah di ranjang karena stroke. Seluruh tubuh bagian kanan nya kaku, tidak bisa digerakkan. Untuk dirawat di rumah sakit, Lindung tidak mampu. Tetangganya pernah dirawat dengan kasus serupa dan habis puluhan juta.
Apa itu? BPJS? rumit sekali mengurusnya. Tidak bisa pula digunakan pada hari pertama mendaftar. Ya, Lindung dan Mujib tidak pernah mendaftar asuransi itu karena mereka malas menghadapi rumitnya birokrasi untuk orang miskin seperti mereka. Akhirnya pengobatan alternatif menjadi pilihan. Murah dan tidak perlu keluar rumah.
Sebenarnya hari itu cerah, matahari bersinar teduh tanpa ada awan menutupi. Namun ketika Lindung memasuki kamar Mujib untuk mengantar makan siang seperti biasanya, hari menjadi kelabu.
Mujib bernafas pendek-pendek, terlihat sangat sesak. Segera Lindung meletakkan baki berisi makanan di meja kamar dan menyungkurkan tubuhnya di lantai pinggir dipan. Tangan kirinya menggengam erat tangan Mujib, sedang tangan yang lain memegang pelan wajah Mujib.
"Bapak..." gumam Lindung pelan.
Bapaknya tidak merespon. Matanya terpejam menahan sakit, dadanya terasa dicengkram hebat.
"Bapak..." kembali Lindung menggumam, kali ini lebih keras.
Akhirnya Mujib membuka mata, air mata mengambang di pinggir kedua matanya. Lindung merasa tangannya diremas keras, tanda Bapaknya masih merasakan sakit yang sama, hingga menggunakan tangan Lindung untuk mencoba mengurangi rasa sakit.
"Lindung panggil dokter nggih?"
Terpatah Mujib menggeleng, masih belum mampu bicara. Melihat kesusahan kecintaannya membuat Lindung meneteskan air mata. Saat ini, di hari ini, baru Lindung merasakan sedihnya tidak memiliki harta.
"Eng...gak...u...sah...nduk..."
Akhirnya Mujib mengeluarkan suara. Setelah ucapannya berakhir, tangannya yang bebas meraih dadanya, meremasnya. Mata Lindung semakin basah.
"Bapak, ucapkan syahadat..." kata Lindung akhirnya. Dengan pelan dia mencoba menuntun Mujib mengucapkan persaksian akan Allah dan Nabi Muhammad, namun mulut mujib seolah kelu. Malah kata lain yang terucap.
"Ma...af.."
Itu kata terakhir Mujib, setelahnya, selama beberapa detik yang mencekam, dia hanya mampu membuka dan menutup mulutnya. Kemudian, seperti dikomando, seluruh pergerakan tubuhnya berhenti. Tidak ada cengkraman, tidak ada nafas pendek, dan tidak ada dada yang naik turun penanda kehidupan.
Lindung melihat nanar jasad Mujid.
Allah...apakah Bapak khusnul khotimah? Kalau iya, kenapa kematiannya terlihat begitu sulit? Padahal Bapak adalah orang paling baik yang ada dalam hidupnya. Kesadaran lain menghantam Lindung. Bapaknya, dengan segala kebaikannya, selalu saja menyepelekan sholat."Buat apa sholat kalau kelakuannya bejat," entah berapa kali kalimat itu keluar dari mulut Mujib ketika Lindung menghadap pada sang Khalik. Ah...Bapak...Lindung hanya manusia, tidak bisa menerka lebih banyak. Satu hal yang pasti, dia hanya bisa terus mendoakan yang terbaik untuk Bapaknya.
*++*
Mentari masih mengintip malu di ufuk Timur ketika seorang wanita dengan semangat menggerakkan badan mengikuti irama lagu. Gerakannya diikuti oleh puluhan wanita di belakangnya yang kebanyakan sudah berusia lanjut.
Sudah menjadi aktivitas rutin bagi Lindung di ahad pagi menjadi instruktur senam di lapangan desanya. Menyenangkan, menyehatkan, bermanfaat, dan membahagiakan."Ndung, ada yang ngasih surat. Kayaknya penggemarnya nambah nih. Cie cie..."
Lindung yang sedang menenggak air mineralnya sambil membersihkan keringat menoleh ke arah suara. Didapatinya Wanti, sahabatnya, nyengir sambil mengulurkan sebuah amplop kepadanya.
"Siapa ay?"
Wanti menggerakkan kepala ke arah seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Cakep ya Ndung,"
Lindung mengerucutkan mulut, hal yang sering dia lakukan saat menilai sesuatu. Memang untuk ukuran desanya, lelaki itu terlalu kota. Dia terlihat sangat bersih dengan setelan kasual. Rambutnya tersisir rapi dengan belahan pinggir, serasi dengan kerangka wajahnya. Sayangnya...
"He em, tapi...sayang pendek. Lagian cemen amat nggak berani ngasih langsung."
Wanti berdecak. "Ah, kapan sih kamu pernah muji cowok Ndung."
Lindung mengangkat alis mata dan bahunya bersamaan, untuk setelahnya tertawa cekikikan bersama Wanti. Segalanya terasa berjalan wajar, dengan segala keceriaan yang Lindung miliki. Padahal baru saja seminggu sebelumnya dia kehilangan orang yang paling dia kasihi, Mujib, sang bapak
Bapak Lindung seorang pemulung, dan Ibunya, Tini, hanyalah buruh cuci. Sejak Lindung kelas enam SD, Tini mulai sakit-sakitan hingga membuat hasil kerja Mujib habis untuk biaya pengobatan. Tidak ingin membebani ayahnya, Lindung memutuskan untuk bekerja setelah lulus SD. Namun penyakit Tini semakin parah, uang yang dibutuhkan pun semakin bertambah. Mereka pun harus berhutang pada para tetangga, hutang yang bertahan sampai kepergian Tini, dan...Mujib
Ya, kepergian Mujib meninggalkan banyak hutang. Jangankan untuk menggelar selamatan kematian, untuk membayar hutang-hutang itu saja Lindung tidak punya. Selama seminggu Lindung terus memikirkan bagaimana agar hutang itu segera lunas. Karena dia tidak mau, Bapak yang dia cintai terkena adzab karena hutangnya.
Bingung memang Lindung, tapi dia memilih mencari solusi tanpa depresi, dengan tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Hingga dia sampai pada keputusan untuk menjual rumah yang sekarang dia tempati, rumah kecil penuh kenangan bersama kedua orangtuanya. Sedih, tentu saja, tapi hanya ini solusi yang dia punya. Lagipula Lindung yakin Didit, Ketua Yayasan Hati, akan memperbolehkannya menginap di yayasan sambil mencari tempat lain untuk berteduh. Ah...bukankah selalu ada jalan keluar kalau kita mencari?
Pernah mendengar kalimat, bahagia itu sederhana? Itu yang Lindung rasakan dari dia kecil sampai sekarang, saat usianya menginjak 19 tahun. Dalam keluarga kecilnya dia tidak pernah mendapati Bapak dan Ibu nya mengeluh, bahkan ketika musibah silih berganti menimpa mereka. Karena keluhan, hanya memperberat apa yang dirasakan dan tidak menyelesaikan masalah. Lagipula banyak hal yang perlu disyukuri, bukankah pertemuan dengan kedua orangtuanya dan kasih sayang mereka kepadanya tidak bisa terganti? Bahkan ketika keduanya telah pergi, kenangannya tetap tidak terganti.
***
bersambung
RuLz, 7Mar'16
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...