=sebelas=

1K 101 13
                                    

[Bongkahan Masa Lalu]

***

Ratri baru sepuluh menit meninggalkan kamar, tapi seolah sudah berjam-jam bagi Lindung. Selama menunggu entah sudah berapa kali Lindung berganti posisi. Dari yang semula duduk, mondar-mandir, tiduran, dan kembali ke posisi duduk. Semua itu Lindung lakukan demi membunuh waktu yang berjalan lambat.

Farah...sudah berapa lama wanita itu pergi dari hidupnya? Waktu itu Lindung baru kelas tiga SD...Sepuluh tahun?

TOK TOK TOK

Demi mendengar ketukan pintu, Lindung yang sedang berdiri menyandar di meja baca segera berjalan ke arah pintu. Matanya membulat ketika mendapatkan bukan Ratri yang berdiri di sana. Farah...

Tanpa banyak kata Farah memeluk tubuh Lindung. Membuat Lindung membatu, bingung untuk berbuat apa.

"Ndung...maafkan Ibu ya..."

Lindung meneguk saliva mendengar suara Farah yang beriak. Menangis? Mengerjap, Lindung mendorong tubuh Farah. Ingin melihat ekspresi wanita yang pernah dia hormati.

Farah menangis. Wanita itu menangis. Setelah puluhan tahun...dan dia baru menangis sekarang?

"Kenapa Ibu menangis? bukankah saya yang lebih berhak menangis di sini?" Lindung berkata dingin, membuat Farah menggigit bibir bawahnya. Belum sempat Farah menenangkan diri, Lindung kembali mengeluarkan suaranya, tajam.

"Mana Randu?"

Farah menggigil. Tidak menyangka anak perempuan mungil yang dulu begitu dekat dengannya memberikan aura sedingin ini padanya.

Akhirnya Farah menggeleng. "Dia dibawa Mas Seto, kami sudah lama bercerai..."

Mata Lindung melebar, tidak percaya. Adakah hal yang lebih buruk dari ini? Dia harus bersedia mengobrak abrik tatanan hatinya tanpa ada penemuan yang melegakan?

"Setelah pembelaan Ibu terhadap pria itu...akhirnya Ibu memilih bercerai?" Lindung kembali berkata. Rendah dan tajam.

Farah mengangguk lemah. "Maaf Ndung..."

Lindung mendongak, memejamkan mata, menghalau butiran air yang hampir tumpah. Tidak Ndung, saat ini bukan tangis yang kamu perlukan...

"Lalu rumah itu?"

Rumah itu bukan milik Farah.

"Itu...salah satu syarat yang Ibu beri untuknya ketika akhirnya Ibu mau melepaskan dia."

Lindung membisu. Pun Farah hanya bisa pasrah, tidak berani berkata sebelum Lindung memutuskan hukuman untuknya. Beberapa saat suasana diantara mereka menjadi dingin membeku.

Lindung yang akhirnya memecah kebekuan itu. "Saya...ingin bertemu Randu. Ibu harus membantu saya." Perkataan itu mutlak, tidak terbantah.

Farah menggigit bibir. Haruskah dia kembali menghadapi lelaki itu? Lelaki yang mati-matian dia perjuangkan tetapi memilih pergi?

Di tempat agak jauh dari keduanya, Ratri melihat dengan berbagai asumsi. Tadi saat dia kembali untuk menemui Farah, dengan wajah sendu kawannya itu berkata.

"Mbak, saya tidak bisa tidak harus bertemu Lindung. Saya sudah terlalu banyak salah padanya..."

Semula Ratri ingin menolak. Dia tidak mau turut canpur urusan orang lain. Lagipula Ratri yakin Farah-lah yang menjadi sebab keanehan pada diri Lindung  tadi. Namun Farah terus mendesak dengan lelehan airmata. Tentu Ratri tidak tega. Bagaimanapun Farah adalah kawan lamanya yang sudah menghadapi banyak goncangan dalam hidup. Goncangan yang hampir saja membuatnya hancur lantak. Untung Farah masih ingat akan Allah. Ratri mengernyit, ada getaran halus saat dia menyebut nama Rabb-nya.

Sebenar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang