[Tidak Menikah sampai Mati]
***
Waktu berhenti.
Itu yang Java harapkan ketika kalimatnya sudah tersusun dari mulut. Rasa-rasanya dia tidak siap mendengar penolakan gadis di hadapannya. Apalagi dengan cara melamarnya yang sangat tidak normal.
Sungguh, Java sendiri tidak mengantisipasi kepribadian tanpa basa basinya yang akan mengambil alih dirinya. Padahal dia sudah menyiapkan banyak kata, tapi semua lenyap ketika dadanya berdetak tidak teratur mengirimkan sinyal dingin di seluruh tubuhnya. Gugup.
Pasrah, tak ketara Java mengambil nafas dalam seiring mulut Lindung yang perlahan membuka.
"Mungkin...saya punya wali..."
Kalimat ambigu. Java sempat mengulangnya beberapa kali di kepala, tapi tidak juga dapat mengerti arti kata mungkin. Kenapa mungkin? Itu sama sekali tidak ada dalam koleksi jawaban yang sudah dia antisipasi. Ada, tidak ada, atau...tidak perlu, karena saya menolak. Semoga yang terakhir bukan maksudnya.
Setelah hening beberapa saat, suara Java akhirnya terdengar. Hati-hati lelaki itu bertanya. "Mungkin?"
Mata Lindung melebar. Tersadar dia mengeluarkan kalimat yang salah. Lindung...Apa yang kamu lakukan?! Seharusnya kamu menolak! Ini tidak ada urusannya dengan wali!
Lindung diam. Hanya melihat Java dengan berbagai pikiran yang melintas. Lamanya Lindung tidak menjawab membuat Ratri membuka suara. "Kenapa mungkin Ndung? Kamu masih ada paman?"
Untuk pertama kalinya Lindung mengalihkan tatapannya dari Java. Melihat wanita yang mungkin akan jadi mertuanya. Sinar pengharapan jelas dia dapatkan dari dua bola mata wanita itu. Sungguh...bila bisa Lindung ingin saja menerima. Tapi tidak, ada satu kebenaran yang pasti akan membuatnya tertolak oleh Java. Kebenaran yang dia simpan sendiri sampai saat ini, dan mungkin sampai dia mati.
Lindung kembali melihat Java. Sejak mengungkapkan maksudnya, Java terus saja menghindar untuk menatap Lindung. Membuat Lindung terus bertanya-tanya tentang keseriusan lelaki itu. Allah...apa yang harus kulakukan? kalau menolak, aku butuh alasan.
Saat kebingungan Lindung semakin menjadi, saat itulah kedua manik Lindung dan manik Java kembali bertemu. Hanya beberapa detik, tapi mampu membuat Lindung percaya pada lelaki itu. Bahwa Java serius, dan siap akan segala konsekuensi dari pinangannya. Entah, Lindung tidak mengerti darimana datangnya keyakinan itu. Itu hanya datang... begitu saja.
"Saya...ingin berbicara berdua dengan Mas Jav, bisa?" tanya Lindung akhirnya.
Membuat Ratri mengerjap penuh tanya. Sedang Java seperti melihat buah durian yang sudah terkelupas melayang ke arahnya. Siapa yang tidak senang ditawari berduaan dengan mahkluk yang kita sayang? Namun sayang buah itu jatuh tidak sampai di tangannya. Mirna dengan telak menyuarakan pikiran waras Java.
"Tidak Ndung. Di dalam Islam tidak diperkenankan berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram." Mirna berkata tergas. Matanya melihat Java selintas, kemudian berhenti di Lindung. "Kalau kamu ingin bicara dengan Mas Isse tanpa kami, kamu bisa mengirim pesan ke hp-nya. Atau kalau panjang, kamu bisa menulisnya di kertas."
"Saya akan menulis surat," sahut Lindung cepat, kemudian menambahkan dengan lirih. "Semoga bisa selesai besok pagi."
Java meneguk saliva. Sekarang dia ingin waktu berjalan cepat. Untuk dia tahu apa yang ingin disampaikan oleh Lindung. Ah, manusia...betapa tidak konsistennya.
*++*
Krrk
Pukul 22.30 WIB, untuk kesekian kalinya Lindung meremas kertas yang sudah dia tulis. Padahal sudah sejak habis isya dia mencoba menulis, tapi tak kunjung menemukan ramuan kata yang tepat. Rasanya ada saja bagian yang salah.
Frustasi, Lindung menghela nafas dan menyibak rambutnya dengan kedua tangan. Kedua sikunya ia biarkan menahan berat kepalanya. Apa yang harus dia lakukan? Ini bukan hal yang bisa diungkapkan dengan tulisan. Apalagi oleh Lindung yang tidak mahir menyusun kalimat dalam bentuk tertulis.
Lindung melihat kertas kosong di hadapannya. Memejamkan mata. Dari tadi dia menulis dengan terlalu banyak pertimbangan. Pertimbangan agar Java mau memaklumi dirinya, menerimanya. Hingga akhirnya dia terlalu berkonsentrasi pada alasan kekurangannya. Itu bukan dia, sungguh bukan dia. Ah...
Dengan keyakinan baru Lindung kembali merobek kertas dari buku tulis dan mulai menorehkan tinta di sana. Dengan lancar penanya bergerak mengikuti alunan tangannya. Tidak lama, alunan itu berhenti. Meletakkan pena, Lindung kembali melihat hasil tulisannya. Tidak panjang, hanya satu paragraf singkat beserta salam.
Assalamu'alaikum
Kamu telah menggoyahkan keyakinanku untuk tidak menikah sampai mati. Denganmu, aku berharap bisa merubah diriku menjadi perempuan normal. Tapi...apa kamu tetap bersedia menikahiku, ketika kamu tahu aku lebih cenderung pada perempuan daripada lelaki?
Lindung untuk Java
***
bersambung
ByARrr, ahaha...akhirnya masalah Lindung saya tulis juga. Deg deg an sama tanggapan kalian
Oya, ada feelnya ga sih tulisan saya?
RuLz, 30April'16
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...