[Membeli Burung dalam Karung yang Dilubangi]
***
Hening. Hanya suara jangkrik mendominasi, dan, ya, suara petir dari kejauhan. Udara menguar dingin seperti malam-malam biasanya pada jam yang sama. Sungguh suasana yang mendukung untuk merapatkan selimut. Bahkan ayam pun belum mau memperdengarkan suaranya.
Sepertiga malam, waktu paling tepat untuk berbicara pada sang Khalik. Tempat pengaduan bagi setiap insan yang butuh kekuatan. Kekuatan untuk mampu bertahan di derasnya fitnah akhir zaman. Fitnah-fitnah yang bahkan mampu mendorong manusia di seluruh bumi pada kekafiran.
Java menitikkan airmata. Dadanya bergetar. Ketakutan akan terseretnya diri pada fitnah benar membuatnya tergugu. Rab, lindungi hamba dan orang-orang yang hamba sayangi dari fitnah akhir zaman....
Saat setiap hal yang benar menjadi salah dan sebaliknya. Saat setiap orang tidak lagi memiliki rasa malu. Saat orangtua yang seharusnya dihormati dan dikasihi berubah menjadi pembantu.
Lagi, airmata menetes di pelupuk mata Java. Semoga Allah menyayangi kedua orangtuanya, seperti mereka menyayanginya sejak kecil.
Java mengakhiri munajatnya dengan satu rekaat witr. Hanya satu, karena waktu subuh telah dekat. Setelah selesai, Java melipat sajadah dan menyampirkannya ke pundak. Bersiap pergi ke masjid untuk shalat subuh.
Dalam perjalanan menuju masjid pikiran Java berkelana, teringat obrolan dengan kedua orangtuanya tadi malam di meja makan. Ratri benar-benar tidak mau menerima penolakan. Lindung Pancawardani, wanita yang pernah mengisi hari-harinya saat SMA, akan mulai tinggal di rumahnya dua hari lagi.
Tidak, Java tidak pernah berkenalan apalagi mengobrol dengannya. Java hanya melihat wanita itu dari jauh. Letika Lindung setiap hari datang ke kantin sekolah untuk berjualan pecel, atau ketika dia mengetuk kelas untuk mengantarkan pesanan makanan. Wajah dan suaranya yang penuh keceriaan meski tidak dapat sekolah seperti anak-anak lain seusianya selalu membuat dada Java menghangat oleh kekaguman. Kekaguman yang bahkan membuat Java tidak mampu membuka mulut untuk sekedar menyapa.
Ketika Ratri menyebut nama itu semalam, Java langsung tahu Lindung itu yang dimaksud. Karena Lindung, sejak satu tahun yang lalu telah bekerja di Yayasan Hati, tempat Ratri dan Java sering berbagi ilmu. Tidak jarang, ketika Java mengantar Ratri ke yayasan, Java menangkap siluetnya. Java berusaha untuk tidak peduli dan tetap menundukkan pandangan. Pun semalam, sengaja Java menghindar untuk menyebut namanya karena tidak ingin mengembalikan getaran yang pernah hadir di masa labilnya. Di masa ketika ilmu keislaman belum merasuk dalam jiwa dan langkahnya. Punya ilmu, tetapi tidak dia terapkan, apalagi berusaha menambahnya.
Alhamdulillah saat kuliah dia bertemu dan berkumpul dengan orang-orang tepat. Para pejuang yang gigih untuk menebarkan manfaat, dan menjadikan Allah sebagai tujuan. Benar kata pepatah, berkumpullah dengan penjual minyak wangi, agar wanginya sampai padamu.
Maka sekarang, ketika Ratri menawarkan pernikahan dengan Lindung, Java tidak bisa begitu saja mengiyakan. Karena saat ini baginya, untuk membangun rumah tangga bukan hanya masalah rasa, tapi terlebih pada agama. Lindung? Ah... bahkan dari penampilan luarnya saja sudah jauh dari kriteria Java. Lindung, Java tidak pernah melihatnya memakai khimar.
Java menghela nafas. Tepat saat langkahnya memasuki area masjid, adzan berkumandang. Saat itu pula Java berketetapan untuk sementara mengungsi dari rumah, menyepi sembari menimbang penawaran bundanya kembali.
*++*
"Subhanallah, semoga Allah memberi yang terbaik buat kamu ya Jav."
Java meringis dan mengangguk. Saat ini dia sedang duduk di meja makan rumah Naning, bulik kandungnya, sembari melihat kesibukan Naning mencuci piring. Baru saja dia bercerita soal Lindung kepada Naning, satu-satunya keluarga wanita yang cukup mengerti masalah agama
"Terus gimana? Mau tinggal di sini dulu? tapi Mirna besok udah pulang buat liburan. Gapapa sih kalau Mirna nya nggak masalah...."
Mirna adalah anak Naning yang saat ini sedang mondok di Solo. Meski hubungan kekerabatannya dekat, tetap saja bukan mahram. Kalau masalah khalwat, karena Naning ibu rumah tangga dan selalu di rumah, Insya Allah bisa dihindari. Masalahnya kalau Java tinggal, Mirna harus memakai jilbab kalau keluar kamar meski di dalam rumah. Terbayang repotnya Mirna dalam benak Java, belum lagi akhir-akhir ini matahari bersinar sangat terik. Kalau sehari dua hari masih bisa dimaklumi. Lha ini, Java sama sekali belum bisa menentukan berapa lama. Lagipula Java sudah memutuskan mau tinggal dimana.
Java menggeleng. "Nggak lah bulik, Java udah ada tempat ngungsi kok. Tapi gantinya Java cuma mau minta tolong..."
Naning yang sudah selesai mencuci piring berjalan ke arah meja makan, tempat Java duduk.
"Apa itu Jav?" tanyanya sambil duduk di hadapan Java.
"Saya mau tahu wanita seperti apa dia. Iya, memakai khimar saja tidak, tapi mungkin saja dia bisa berubah kan?"
Naning mengangguk angguk mengerti. "Terus?"
"Bisa nggak bulik bantu Jav cari tahu? dengan nginep di rumah beberapa hari mungkin..."
Naning mengerucutkan mulutnya lucu "Terus anak-anakku ditaruh mana? Rumah siapa yang ngurus? Aduh, nggak deh."
Pundak Java merosot. Dia menunduk mencoba mencari jalan lain. Ah...dia hanya punya bibinya yang bisa dimintai tolong masalah seperti ini.
"Tapi Jav...
Java kembali mengangkat wajah.
"Mungkin Mirna bisa..."
Senyum Java merekah. Mirna tidak pernah menolak hal-hal menarik seperti ini.
***
bersambung
Rulz, 7Mar'16
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...