[Jawaban Lindung]
***
Berpamitan. Itu yang Java lakukan setelah mendengar jawaban Lindung. Dia tidak mau lebih lama di rumah, hanya untuk lebih merasakan kegugupan akan jawaban Lindung besok.
Gugup dan penasaran.
Tentu saja. Dia baru saja melamar seseorang, sangat wajar ada rasa gugup dan penasaran menjalar di aliran darahnya, meski hanya dalam kadar yang masih sedikit. Kadar sedikit inilah yang berusaha Java jaga untuk tidak membesar dengan tidak berlama di rumah.
Java melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Kecepatan yang masih bisa membuatnya menikmati suasana di jalanan dengan leluasa. Kota kelahirannya bukanlah kota yang sepi, meski tidak seramai ibukota. Perumahan modern memang sudah menjamur, tapi tidak meruntuhkan bangunan kuno yang masih banyak, pun kebun dan sawah masih mudah dijumpai. Mujurnya, perjalanan dari rumah ke konternya melewati itu semua. Lengkap, dan tidak membuat bosan. Perjalanan 20 menit itu mampu mengusir pikiran-pikiran melantur di kepalanya.
DRRT DRRT DRRT
Java merasakan ponsel di sakunya bergetar berkali-kali tepat saat dia sudah sampai di depan konter. Menegakkan sandaran motor dengan kakinya, Java meraih ponsel. Dia mengernyit mendapatkan notifikasi berpuluh pesan di aplikasi telegram, semuanya dari orang yang berbeda.
Membuka aplikasi, Java mendecak. Masya Allah Bundanya itu. Belum sampai Lindung memberikan jawaban saja seluruh keluarga besarnya sudah tahu dia mau melamar seseorang. Bisa mati rasa dia kalau sampai ditolak. Akan disembunyikan dimana pula mukanya.
"Wah, ponakan tante sudah gede, sudah mau nikah aja... Tante Yusri?"
Demi melihat siapa yang membaca pesannya, Java menoleh ke belakang. Di hadapannya Aziz meringis tanpa dosa. Java hanya bisa mengambil nafas dan kembali melihat layar ponselnya.
"Kok sudah pada ngomongin nikah saja. Memang kamu sudah ambil keputusan Sse?"
"Memang Mas belum dengar dari Mirna?" jawab Java malas dengan tetap mengotak atik ponsel. Dia tidak berniat menjawab semua pesan yang dia dapat. Dia hanya memeriksa siapa saja yang sudah tahu. Meski pasti yang mengirim pesan tidak sebanyak mendapat kabar. Bunda...
Aziz mengulum bibir dan mengangkat bahu. Dia baru saja pulang dari masjid sejak adzan maghrib tadi. Selama itu dia meninggalkan ponsel di konter. Ya, urusan dunia bisalah menunggu.
"Kayaknya ada yang kulewati ya. Udah, masuk aja dulu. Wajahmu dan posisimu sekarang kayak orang minta sedekah aja." Aziz berkata sambil menepuk pelan pundak Java. Dibalas dengan pelototan dari si empunya pundak. Aziz kembali meringis polos kemudian beranjak ke pintu konter.
Dengan malas Java turun dari motor, melepas helm, dan mengikuti Aziz.
"Tadi aku bilang ke Lindung mau melamarnya."
"Sudah solat isya kan?"
Dua kalimat terujar bersamaan. Aziz berbalik, Java berhenti berjalan. Keduanya saling berpandangan, membuat keputusan dalam diam siapa dulu yang akan menanggapi. Java yang akhirnya kembali bersuara.
"Alhamdulillah tadi sudah berhenti di menara..."
Aziz tidak merespon. Dia mengamati Java, mencoba mencari entah apa dari diri saudaranya itu.
"Kamu yakin?" Dua kata telak terlontar juga.
Ya, setelah melewati perjalanan singkat tadi, Java malah meragu. Ragu bila keputusannya semata hanya karena perasaan yang masih tersisa pada Lindung. Tapi bukankah dia sudah mencari tahu? Dan tidak ada alasan untuknya menolak bila ternyata Lindung terbuka untuk memperbaiki diri. Astaghfirullah
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...