[Romantika Keluarga]
***
Menyadari kesalahan itu baik dan memperbaikinya adalah prestasi. Java sadar tidak bisa terus keras kepala kepada Bundanya. Memang seperti itu kan orangtua, sering menunjukkan otoritasnya untuk mengatur anak, pun merasa ilmu dari pengalaman pribadi adalah yang terbaik. Memang begitu, sadar atau tidak, menuanya sesorang sering dibarengi dengan tumbuhnya rasa takabbur. Bisa saja saat ini seseorang berkata dia tidak akan demikian kelak, tapi siapa yang bisa memastikan? Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
Dan disinilah Java sekarang, dengan kesadaran bahwa dia terlalu keras, dengan kesadaran dia telah menyakiti Bunda yang berarti untuknya. Java memarkirkan motor bututnya, motor yang baru dia minta setelah dia lulus SMA karena kesadarannya untuk taat aturan, di halaman rumah.
"Lho, den Java tumben jam segini sudah keliatan."
Sapaan itu keluar dari Sur, Suryadi panjangnya. Ayah Java yang lain, karena dialah suami Dewi dan juga ayah kandung dari Aziz. Sur bekerja sebagai tukang kebon di rumah wetan.
Tidak seperti rumah kulon yang mungil tanpa halaman. Rumah wetan memiliki halaman luas di sekeliling rumah. Halaman yang rimbun dengan pepohonan besar, seperti pohon mangga, rambutan, bahkan pepaya, dan pisang. Keluarganya memang tidak suka dengan tanaman kecil, tidak terlalu berefek untuk meneduhkan rumah katanya. Jadilah rumah wetan seperti rumah yang ada di tengah kebun, asri dan membuat nyaman. Itu juga yang membuat Tejo dan Ratri lebih betah menginap di rumah ini.
"Assalamu'alaikum Pak," Java mendekati Sur dan mengambil tangannya untuk dicium, bukti hormatnya pada beliau.
"Hehe...lupa. Wa'alaikumsalam Warrahmatullahi Wabarakatuh..." jawab Sur sambil menepuk pundak Java pelan.
Java tersenyum. Dalam hidupnya, ilmu tentang agama banyak dia dapatkan dari orangtua susuannya. Mereka dalam kesehajaannya mampu menaati aturan Allah, tanpa kompromi. Kalau melanggar, mereka akan dengan cepat beristighfar dan memperbaiki diri. Dari mereka pula Java belajar tahsin Al-Qur'an. Java heran, kenapa orangtuanya yang sudah berhubungan dengan mereka sangat lama tetap saja belum tertular. Ah...hidayah hanya milik Allah.
"Jav mau minta maaf sama Bunda Pak, Bapak pasti sudah dengar kan?"
"Haha... Alhamdulillah. Bapak yakin kamu bakal cepet insaf-nya."
Java menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Walah, semua orang dapat cerita kayaknya.
"Yowis, sana masuk. Mumpung Ibuk nembe masak."
Java meringis. Dia memang sengaja datang di pagi buta, saat Ratri sibuk dengan masakannya. Saat inilah Ratri bisa berubah menjadi sangat pemaaf dan pemaklum. Aneh? Memang. Namun nyatanya Java selalu berhasil meluluhkan Bundanya dengan memanfaatkan waktu ini.
"Nggih mpun, Jav mlebet riyin nggih Pak."
"Yo yo, selak rampung masak-e mengko..."
"Haha...Nggih..."
Dengan senyum yang masih terlihat, Java melangkah mendekati pintu depan rumah. Pandangan Sur mengikuti langkah Java hingga menghilang di balik pintu. Kabar bahwa Java dijodohkan dengan seorang yang tidak mengerti agama telah sampai di telinganya, dan itu membuatnya sedih.
Sur ingat ketika pertama kali Java ber-azzam untuk menjalankan agamanya secara kaffah lima tahun silam. Betapa Java bersemangat menambah ilmu dengan banyak bertanya padanya, membaca banyak buku. Begitu semangatnya sampai kadang melewati waktu makan. Padahal saat itu Java kuliah semester awal, mata kuliah dan tugasnya masih sangat padat dan cukup membuat penat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenar Cinta
SpiritualKamu terlalu jauh dari ekspektasiku Baiklah, lupakan tentang lulusan SD. Bahkan kalau kamu tidak sekolah pun aku tidak akan menanyakannya. Nyatanya banyak orang tidak sekolah yang lebih berpendidikan. Tapi Agama adalah harga mati. Bagaimana mungkin...