=sepuluh=

1.1K 105 12
                                    

[Ternyata Java]

***

Mata itu melebar, pun dengan mata Lindung. Untuk sesaat keduanya terseret jauh dari tempat mereka berdiri. Keping-keping memori berputar runtut di kepala keduanya, mengacaukan kemampuan gerak mereka. Keduanya begeming, bungkam. Sampai akhirnya wanita itu mengerjap dan berkata lirih.

"Dani..."

Masih mentralisir keterkejutannya Lindung menelan ludah dengan mata masih terpaku pada sosok di hadapannya.

"Apa kabar?"

Lindung tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sisi hatinya memberontak. Apa kabar katanya?! Beraninya dia menanyakan kabar padaku! Setelah apa yang dia lakukan?!

Pelan Lindung menggeleng, mencoba mentetralisir amarah. Dia tidak salah Ndung, laki-laki b*j*t itu yang salah. Lagipula, bukankah kamu pernah menyayanginya? Layaknya ibu yang lain?

Bukannya menenangkan hati, setiap pembelaan yang dia buat untuk wanita itu malah membuat diri Lindung gusar. Ketika dadanya tetap saja bergemuruh, Lindung memilih tersenyum tipis, mengangguk kecil, kemudian berbalik, berjalan setenang yang dia bisa ke kamarnya.

Sementara itu, sosok yang dihindari Lindung bergeming. Melihat setiap pergerakan Lindung dengan duri menusuk di dada. Dia tidak merasa menyesal, karena bukan dia yang melakukan kesalahan. Kalaupun waktu diputar, dia tidak akan merubah pilihan. Meskipun keputusan itu menyisakan luka menganga bagi Lindung dan keluarganya.

Wanita itu mengambil nafas panjang, terlalu lelah dengan berbagai hal yang berputar di kepalanya. Dia tidak sadar seseorang telah mendekatinya.

PUK

Wanita itu berjingkat ketika tepukan ringan ia rasakan di pundak. Menoleh, dia mendapati Ratri yang mengernyit penuh tanya.

"Farah? Katanya mau ke toilet? kok malah berdiri kayak patung di sini?"

**++**

Lindung berdiri di balik pintu sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan seolah telah bermaraton puluhan kilometer. Dadanya turun naik dan keringat dingin keluar dari jemari tangannya.

Apa yang dilakukan wanita itu di sini?

Saat Lindung masih mengumpulkan spekulasi, pintu di belakangnya diketuk pelan.

"Ndung? Kamu di dalam?"

Bu Ratri

Mengambil nafas panjang, Lindung berbalik dan membuka pintu. Berusaha bersikap biasa saja meski dadanya bergemuruh, Lindung berseru dengan ekspresi tak percaya.

"Bu Ratri?! Kok baru pulang?"

Untuk sesaat Ratri hanya diam dan mengamati Lindung. Ada rasa tidak benar dari ekspresi wanita muda di hadapannya. Tapi apa? Menyingkirkan keganjalan yang menyeruak, Ratri menaikkan dua sudut bibirnya, tersenyum.

"Iya, betah di rumah. Sedang sedikit garapannya. Dipuas puasin lah sama suami. Aku masuk ya?"

Belum sempat Lindung menjawab, Ratri sudah melewati tubuh Lindung yang berdiri di ambang pintu. Ah...untuk apa juga bertanya. Lindung tersenyum kecil melihat cara kerja Ratri, sesaat teralihkan dari gemuruh di dadanya.

"Kok malah kelihatan seneng gitu lagi sepi Bu?" kata Lindung sembari mengikuti tiap gerakan Ratri dengan matanya.

Ratri menghempaskan dirinya di kursi meja baca. "Rizki sudah ada yang ngatur, nggak mau ngoyo. Orang nggak ngoyo aja kami udah keriput."

Lindung memilih duduk di kasur. "Hehe...bisa saja ibu ini..."

"Yalah...tapi mungkin karena kami sudah tua dan nggak banyak tanggungan kali ya bisa mikir kayak gini. Anak semata wayang yo wis mentas..." kata Ratri mengambang. Matanya menerawang, menandakan pikirannya tengah berkelana. Lindung tidak menginterupsi, memilih diam dan memperhatikan tiap detail wajah wanita yang di hormati.

Memakai celana jeans berwarna abu-abu, hem kebesaran, serta pashmina melilit di kepalanya, dia berpolah agaknya anak muda.  Berhasil, semua itu membuatnya terlihat dua puluh tahun lebih muda dari usianya yang sudah menginjak angka 60. Perawakannya pendek dan kecil, tidak mampu memperlihatkan ketangguhan yang sesungguhnya dia punya. Ketangguhan? Iya, apalagi namanya kalau pada usianya saat ini dia masih banyak memiliki aktivitas: berdagang, mengajar, berolahraga, dan...tentu saja arisan dimana mana.

Ngomong-ngomong

"Wanita itu..."

"Aku sudah ngira kamu bakal berubah dengan cepat."

Keduanya membuka mulut di waktu yang sama. Lindung kalah cepat, belum mampu menyelesaikan perkataannya.

"Eh?"

"Aku tadi sempat kaget ngeliat kamu sebenernya. Tapi mengingat kamu di sini dengan Mirna, kemungkinannya besar kamu bakal berubah."

Ah...Penampilannya

Pipi Lindung bersemu merah. Baru sadar dia menunjukkan pakaian yang berbeda dari biasanya.

Melihat ekspresi Lindung membuat Ratri tersenyum. "Manis kok, cocok sama kamu."

Lindung nyengir. "Ibu juga pasti akan manis memakai pakaian seperti ini."

"Hum...kalau kamu mau nikah sama Java, saya pikirkan deh untuk pakai baju syar'i."

Eh? kok gitu?

Eh? siapa tadi?

"Java? Javanesse?" Lindung berujar tidak percaya. Membuat Ratri mengernyit dan bertanya heran.

"Loh? Jangan bilang kamu nggak tahu kalau Java anak saya?"

Lindung menggeleng lemah. Sekarang masalah wanita yang ada di masa lalunya sudah tersingkir terlalu jauh di sudut otak. Digantikan gambaran seorang cowok berkulit sawo matang bertubuh tinggi, lengkap dengan kata-kata tajam dan sikap dinginnya. Nggak salah? Javanesse yang itu?

"Java dingin yang guru agama itu Bu?"

Tawa Ratri pecah sudah."Haha...Java dingin? kayak teh kemasan aja dengernya...oke ntar aku bilang ke anaknya ah. Haha..."

Lindung merengut. "Bukan gitu Bu..."

"Haha...nggak papa, aku ngerti kok. Dia memang kayak gitu kalau sama perempuan. Susah. Katanya sih bukan muhrim...eh...aku sampe lupa ada Farah!"

Ratri berdiri tergesa. Meskipun tergesa, dia menyempatkan diri untuk mendekati Lindung, mengusap pundaknya, dan tersenyum. "Aku berharap kamu bisa menemukan jodoh di rumah ini."

Lindung yang diingatkan kembali dengan Farah, nama wanita itu, memanggil Ratri yang hampir sampai di pintu kamar. "Bu Ratri!"

Ratri berbalik, menunggu.

"Ibu masih akan di sini kan?" Ragu Lindung bertanya.

Ratri mengernyit, menelaah, dan akhirnya menyimpulkan Lindung ingin segera berbicara dengannya. "Emm...ya...nanti setelah Farah pulang aku akan balik ke sini."

Lindung tersenyum lemah dan mengangguk. Ratri pun berlalu.

***

bersambung

RuLz, 11April'16

Sebenarnya saya juga ingin sekalian panjaaaang gitu satu bagiannya. Tapi ya gitu...saya takutnya malah ga update update. haha...pilih mana hayo? panjang update nya lama banget, atau pendek update nya lama aja? peace :)

Sebenar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang