=Empatbelas=

1.2K 122 27
                                    

[Dimulai dengan Bismillah]

***

Lindung mematung, melihat kosong pada pintu yang tertutup. Dia tidak menyangka Java akan memutuskan dengan cepat. Terlalu cepat malah. Padahal mereka selama ini tidak pernah berkomunikasi secara intens. Bagaimana bisa Java mau menerimanya tanpa bersusah untuk bercakap dengannya?

Eh?

Memangnya Java sudah pasti akan menerimanya?

Kesadaran itu mengangkat batu di dada Lindung. Ya, pasti ajakan pertemuan nanti bukan untuk melamarnya. Hanya berkenalan, dan mungkin tukar nomor handphone untuk lebih banyak berkomunikasi.

Setelah yakin dengan asumsinya, Lindung beranjak ke meja, tempat dia meletakkan pakaian-pakaian yang baru dia dapat tadi. Setelah berganti baju dan merasa sudah rapi, Lindung melihat jam di atas meja. Pukul 18.15, rasa-rasanya Java belum pulang. Lagipula waktu ini seharusnya dia gunakan untuk shalat. Sayang baru saja dia tahu kalau tamu bulanannya sudah datang.

Mencari aktifitas pembunuh waktu, sebuah buku yang tergeletak di atas meja menarik Lindung. Lindung meraihnya, Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan.

Judul yang membuat Lindung mengernyit. Setahunya pacaran ya sebelum menikah, untuk mengenal lebih dalam satu sama lain. Apa pula maksudnya pacaran setelah menikah?

Penasaran Lindung membuka buku itu. Di sana, di halaman pertama, bersanding dengan judul buku, terdapat tulisan tangan yang rapi.

Wahai...
Bohonglah kiranya bila seorang lelaki lebih tidak berperasaan dibanding wanita...
Nyatanya hati ini sempat terpaut dan masih susah lepas...

Wahai...
Aku tidak bisa untuk meminta...
Nyatanya sang Pemilik Cinta lebih sadar akan rasa...

Biar segalanya mengalir...
Karena Dia tidak pernah salah...
Adanya balasan terhadap usaha selalu senada...

Kau yang disana...
Aku ber-azzam untuk melepasmu entah pada siapa...
Karena pertalian bukan manusia yang punya kuasa...

Pada kau yang di masa depan...
Akan kuraih kau tanpa sesal...
Menjaga hati, menundukkan pandang, menata laku...
Kau yang di sana...
Akan kuraih kau tanpa sesal...
Tanpa laknat Allah bagi pendua...

-Java-

Lindung menahan nafas. Indah. Dia tidak menyangka seorang Java bisa merangkai kata begitu pas di rasa. Jadi, setaat inikah Java pada Tuhannya? pada Allah? Ketaatan macam apa pula yang harus dilakukan oleh para pencinta? Selain ketaatan yang dia lakukan?

Lindung tersenyum miris dengan pertanyaan terakhirnya. Selain ketaatan yang dia lakukan?

Ah...dia ingin berubah. Kembali Lindung melihat tulisan Java. Mungkinkah Java orangnya? Lelaki yang mampu membersamainya tanpa penyesalan?

"Dan? Sudah ditunggu di ruang tamu. Yuk."

Suara Mirna menyadarkan Lindung yang hanyut dalam pikirannya. Lindung menoleh dan mendapati Mirna sudah berdiri di sebelahnya dengan senyuman.

Ketika masuk ke ruang tamu, Java dan Ratri sibuk bercakap entah tentang apa. Kata terakhir yang mampu Lindung dengar adalah ucapan kesal Ratri.

"Kok jadi kamu yang ngebet. Sebelumnya nggak mau!"

Kedatangan Lindung membungkam keduanya.

*++*

Java kembali ke rumah dan langsung diberi pertanyaan absurd oleh Bundanya. Dia sebut absurd, karena memang absurd. Bagaimana tidak, meminta kesediaan Lindung saja belum, sudah ditanya mau kapan nikah. Sewaktu Java berkelit dengan jawaban netral.

"Secepatnya kalau dia bersedia."

Eh, langsung dibalas nyinyir oleh Ratri.

"Kok gitu? Yang jelas dong Jav! Jadi Imam itu harus tegas!"

Imam? heloo...dia baru mau melamar, udah dibilang imam aja.

"Yasudah, dua pekan lagi kalau tidak ada halangan."

"Dua minggu?! kamu kira nyiapin resepsi itu kayak nyiapin acara ulang tahun!"

Nah, salah lagi.

"Terus Bunda maunya kapan?"

"Tiga bulan lagi."

Lama

"Ya, resepsinya tiga bulan lagi. Nikahnya dua minggu lagi." Akhirnya Java terbawa arus pembicaraan.

"Ehhh...kok gitu?"

"Lha pripun tho Bund? Daripada nambah-nambahin dosa di waktu jedanya? Atau mau batal aja?"

Ratri terdiam. Java tertawa dalam hati. Dari jauh terdengar suara pintu  tertutup. Pasti pintu kamar Lindung, karena Mirna baru saja ke sana. Mengantisipasi, Java kembali berkata.

"Diobrolin nanti saja Bund. Nggak lucu kalau kedengaran Lindung."

Ratri memberengut.
"Kok jadi kamu yang ngebet. Sebelumnya nggak mau!" ucapnya kesal.

Begitu mendengar langkah kaki mendekat, keduanya bungkam. Baik Ratri dan Java melihat ke arah suara. Di sana, dua wanita berhijab berdiri dengan raut muka bingung.

Java terpaku melihat sosok Lidung dengan balutan khimar warna ungu dan gamis senada. Begitu berhasilnya Mirna membawa perubahan pada diri Lindung. Perubahan yang mampu membuat debar di dada Java membuncah. Dengan penasaran Java alihkan pandangannya ke telapak kaki Lindung. Gamis Lindung tidak sepenuhnya mampu menutupi bagian itu, tapi sebagai gantinya kaos kaki terpasang di sana. Sempurna.

Mata Java mengikuti setiap gerakan Lindung sampai wanita itu duduk di hadapannya. Kalau dalam keadaan biasa, Java akan langsung menundukkan pandangan. Kali ini Java membiarkan penampakan elok di hadapannya mempengaruhinya. Mengirimkan sinyal keteguhan atas keputusan yang akan segera dia ungkapkan. Bismillah.

*++*

Hampir tidak ada jeda waktu antara duduknya Lindung dengan terdengarnya suara Java. Suara dengan intonasi jelas dan tegas yang mengeluarkan kalimat dengan efek begitu telak bagi Lindung.

"Saya ingin melamarmu. Adakah wali yang bisa saya kunjungi?"

Lindung yang baru duduk mengerjap. Begitu pula dua wanita lain di ruangan itu. Ketiganya tidak percaya bahwa Java tidak menggunakan pendahuluan untuk maksudnya mengajak bertemu.

Cara Java yang demikian mengaburkan fokus Lindung. Dia lupa akan alasan yang dia  punya untuk menolak, lupa akan perasaan bersalah yang menggelayut terhadap rencana pernikahan mereka. Malah dengan kaku dia menjawab.

"Mungkin...saya punya wali..."

***

bersambung

*pripun tho = gimana sih (ini jawa kromo)

Alhamdulillah berhasil menepati janji. Terima kasih untuk segala komennya, saya senang. Sekarang waktunya hibernasi.

Kalau ada yang terlewat disampaikan saja ya :)

RuLz, 23April'16





Sebenar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang